BOLEHKAH MENGAMBIL UANG DARI DOMPET SUAMI YANG PELIT? - Ustadz… selama 13 tahun menikah, baru sekali saya mendapatkan nafkah dari suami. Padahal ia bukan orang yang miskin. Untungnya, saya punya penghasilan sendiri karena saya bekerja sebagai PNS. Hingga suatu hari, saya terdesak ustadz, lalu saya pun mengambil uang dari dompet suami saya sekedar untuk bisa belanja demi keperluan keluarga. Apakah saya berdosa, Ustadz?
Jawaban
Di zaman Rasulullah, pernah ada wanita yang mengalami hal serupa dengan apa yang Anda ceritakan. Wanita tersebut adalah Hindun binti Utbah. Suaminya tergolong pelit, memberi nafkah tidak cukup untuk menutupi kebutuhan keluarga. Maka ia pun mengadukan hal tersebut kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufyan adalah seorang suami yang pelit. Dia tidak memberi untukku dan anak-anakku nafkah yang mencukupi kecuali jika aku mengambil uangnya tanpa sepengetahuannya”.
Bagaimana jawaban Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam? Beliau memperbolehkan Hindun melakukannya. Seraya mengingatkan dengan bersabda,
خُذِى مَا يَكْفِيكِ وَوَلَدَكِ بِالْمَعْرُوفِ
“Ambillah dari hartanya yang bisa mencukupi kebutuhanmu dan anak-anakmu dengan kadar sepatutnya”(HR. Bukhari)
Dari cerita Anda, jika benar suami selama 13 tahun hanya memberi nafkah sekali, berarti ia lebih pelit dari Abu Sufyan. Maka seperti sabda Rasulullah tersebut, tidak berdosa bagi Anda untuk mengambil uang suami seperlunya untuk memenuhi kebutuhan. Apalagi jika saat itu terdesak.
Pada kesempatan ini, saya juga ingin menasehatkan kepada para suami untuk menyadari kewajiban dan tanggungjawabnya. Seorang suami memiliki kewajiban kepada istrinya, diantaranya adalah memberikan nafkah.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman
وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
“Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada istrinya dengan cara ma’ruf” (QS. Al Baqarah: 233)
Menurut Ibnu Katsir, cara ma’ruf yang dimaksud dalam ayat ini adalah sesuai dengan kebiasaan masyarakat. Tidak boleh pelit, tidak pula berlebih-lebihan.
Dalam ayat lain, Allah Subhanahu wa Ta’ala menegaskan kewajiban memberi nafkah ini baik bagi suami yang kaya maupun suami yang miskin.
لِيُنْفِقْ ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آَتَاهُ اللَّهُ لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا مَا آَتَاهَا
“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya” (QS. Ath Thalaq: 7)
Hendaklah para suami takut jika ia pelit, jika ia bakhil, tidak menafkahi istri dan keluarganya dengan baik. Apalagi, Rasulullah juga telah mensabdakan adanya tiga hal yang membinasakan, yang pertama adalah bakhil yang dituruti.
Sumber : Keluargacinta.com
Jawaban
Di zaman Rasulullah, pernah ada wanita yang mengalami hal serupa dengan apa yang Anda ceritakan. Wanita tersebut adalah Hindun binti Utbah. Suaminya tergolong pelit, memberi nafkah tidak cukup untuk menutupi kebutuhan keluarga. Maka ia pun mengadukan hal tersebut kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufyan adalah seorang suami yang pelit. Dia tidak memberi untukku dan anak-anakku nafkah yang mencukupi kecuali jika aku mengambil uangnya tanpa sepengetahuannya”.
Bagaimana jawaban Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam? Beliau memperbolehkan Hindun melakukannya. Seraya mengingatkan dengan bersabda,
خُذِى مَا يَكْفِيكِ وَوَلَدَكِ بِالْمَعْرُوفِ
“Ambillah dari hartanya yang bisa mencukupi kebutuhanmu dan anak-anakmu dengan kadar sepatutnya”(HR. Bukhari)
Dari cerita Anda, jika benar suami selama 13 tahun hanya memberi nafkah sekali, berarti ia lebih pelit dari Abu Sufyan. Maka seperti sabda Rasulullah tersebut, tidak berdosa bagi Anda untuk mengambil uang suami seperlunya untuk memenuhi kebutuhan. Apalagi jika saat itu terdesak.
Pada kesempatan ini, saya juga ingin menasehatkan kepada para suami untuk menyadari kewajiban dan tanggungjawabnya. Seorang suami memiliki kewajiban kepada istrinya, diantaranya adalah memberikan nafkah.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman
وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
“Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada istrinya dengan cara ma’ruf” (QS. Al Baqarah: 233)
Menurut Ibnu Katsir, cara ma’ruf yang dimaksud dalam ayat ini adalah sesuai dengan kebiasaan masyarakat. Tidak boleh pelit, tidak pula berlebih-lebihan.
Dalam ayat lain, Allah Subhanahu wa Ta’ala menegaskan kewajiban memberi nafkah ini baik bagi suami yang kaya maupun suami yang miskin.
لِيُنْفِقْ ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آَتَاهُ اللَّهُ لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا مَا آَتَاهَا
“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya” (QS. Ath Thalaq: 7)
Hendaklah para suami takut jika ia pelit, jika ia bakhil, tidak menafkahi istri dan keluarganya dengan baik. Apalagi, Rasulullah juga telah mensabdakan adanya tiga hal yang membinasakan, yang pertama adalah bakhil yang dituruti.
Sumber : Keluargacinta.com