Apabila datang laki-laki (untuk meminang) yang kamu ridhoi agama dan
akhlaknya maka nikahkanlah dia, dan bila tidak kamu lakukan akan terjadi fitnah di muka bumi dan kerusakan yang besar. (HR. At Tirmidzi dan Ahmad).
Jalan hidup ini, menyadarkanku bahwa sebenarnya kita tengah menjalani takdir-Nya. Bahwa apa dan bagaimanapun rencana tersusun matang, semua tidak akan berlaku tanpa izin dan kehendak-Nya. Seperti yang terjadi padaku…
Ketika tiba-tiba seorang ustadzah memberiku tawaran untuk menikah, satu persatu rencana yang ada di pikiranku saat itu memudar. Bukan apa-apa, aku hanya merasa tidak ada alasan bagiku untuk menolaknya.
Usiaku waktu itu yang masih terbilang muda, membuatku sama sekali tidak berpikir bahwa aku akan segera menikah. Meskipun waktu tawaran itu datang, aku merasa ini jawaban Alloh atas permohonanku akan hadirnya seorang teman yang bisa menguatkanku di saat aku menghadapi bapak yang semakin antipati terhadap jilbab dan kegiatan keislaman yang kuikuti.
Teman, yang ketika aku membutuhkan tempat bercerita dia bisa dan mau mendengar. Teman, yang ketika aku membutuhkan tambahan kekuatan untuk bertahan, ia bisa membantu. Bukan teman yang ketika aku sedih teringat bapak, dia juga ikut bersedih dan malah menangis, semakin menambah kesedihanku karena perasaan bersalah sudah menularkan kesedihan ini kepada orang lain.
Subhanalloh, Alloh mengirim seorang suami sebagai jawaban doaku tersebut. Memang, suamilah yang nantinya akan selalu bisa menjadi teman yang membantu menguatkan ketika seorang wanita lemah. Suamilah yang juga bisa diharapkan masuk dan mempengaruhi keluarga istri untuk lebih dekat kepada Islam.
Dan sekali lagi, aku tidak punya alasan menolaknya, apalagi setelah dia menyatakan siap menghadapi bapak beserta “saingannya”, calon suami yang sudah disiapkan bapak untukku, asal aku juga maju. Bahkan, kedua orangtuanya yang waktu itu belum aku kenalpun menyatakan siap melindungiku. Ya Alloh, kali ini izinkan hamba meneteskan air mata untuk sebuah perasaan yang sulit diterjemahkan. Haru, bahagia, takut, tapi ingin…
Haru, karena Alloh ternyata begitu cepat mengikatkan hati-hati ini. Bahagia, karena ternyata aku tidak sendiri. Takut tidak bisa mendampinginya dengan baik nantinya. Ingin… Aku ingin punya orangtua seperti orangtuanya, calon mertuaku. Tapi tidak, bagaimanapun sikap bapak terhadapku, dia tetap orangtuaku, yang selalu ingin aku hormati.
Aku yakin, suatu saat nanti Alloh izinkan kami melangkah bersama-sama dalam indahnya hidayah. Aku yakin, sekeras apapun hati bapak, dengan do’a tiada henti, suatu hari nanti beliau akan berubah. Bukankah sahabat Umar bin Khottob juga berhati keras sebelum masuk Islam…
* * *
Alhamdulillah, melalui pakdhe, aku bisa membujuk bapak untuk menerimamu menghadapnya. Menjelaskan maksud kedatanganmu, aku tahu, engkau berusaha menekankan kepada bapak bahwa jilbabkulah yang membuatmu tertarik untuk melamarku. Jilbab yang selama ini ditentang bapak habis-habisan.
Atas kehendak Allah, bapak menerimamu menjadi menantunya. Mudah-mudahan melembutnya hati ini menjadi awal kelembutan hati bapak selanjutnya untuk menerima hidayah-Mu ya Alloh. Izinkan kami terus berusaha.
Antara percaya dan tidak, akhirnya hari yang telah ditetapkan pun tiba. Ada ketakutan dalam hatiku, kalau-kalau walimahan nanti akan ada banyak penyimpangan. Tapi Allahu Akbar, entah apa yang membuat bapak menuruti segala kata-katamu. Entah bagaimana engkau merangkai kata begitu lembut hingga mampu mengeluarkan hujjah yang bisa diterima oleh orang sekeras bapak.
Alhamdulillah, bagaimana aku harus mensyukuri ke Maha Besaran-Mu ya Allah…Walimatul ‘ursy berlangsung tanpa janur (Janur yang sudah disiapkan tidak jadi dipasang) dan tanpa simbol-simbol lain yang mengarah kepada kesyirikan dan bid’ah. Semuanya, subhanalloh, karena kepandaianmu menghadapi bapak, dengan izin Allah tentunya.
Pun ketika bapak berkeras supaya aku dirias seperti pengantin-pengantin lain, engkau mengatakan bahwa engkau tidak rela kalau bibirku pecah-pecah karena dilipstik. Dan bibirku…ternyata memang pecah-pecah begitu dilipstik, hingga bapak kemudian menyuruhku menghapus seluruh riasanku dan membiarkanku tampil biasa.
Tentang musik, engkau mengatakan bahwa nantinya musik hanya akan mengganggu. Konsentrasi kita menemui tamu-tamu terbagi untuk mendengarkan musik. Jawaban sederhana yang ternyata bisa diterima bapak. Sound sistem yang sudah terpasangpun akhirnya nganggur. Mungkin, satu yang membuat perdebatan panjang, dipisahkannya tamu laki-laki dan wanita. Bapak berkeras itu tidak bisa dilaksanakan karena tidak biasa.
Itu pun kemudian, engkau bisa memberikan alternatif sebagai jalan tengah kepada bapak. Tamu laki-laki dan wanita terpisah harinya. Kalau walimatul ‘Ursy harus berlangsung lebih dari sehari menurutmu itu lebih baik daripada terjadi ikhtilat. Toh bapak juga merencanakan walimahan berlangsung selama tiga hari.
Lelah, setelah dua hari tamu datang tiada henti. Tapi Alhamdulillah, sesuai rencana. Ya Alloh, inilah usaha maksimal yang bisa kami lakukan. Mudah-mudahan Engkau berkenan melimpahkan barokah kepada pernikahan dan rumah tangga kami.
Saat pertama aku mengagumimu suamiku, adalah saat-saat dimana engkau selalu minta izin ke masjid setiap adzan berkumandang, meskipun saat itu kita sedang sibuk menerima tamu di hari pernikahan kita.
Ya Allah, ikatkan selalu hatinya dengan rumah-Mu…Kami tahu, masih panjang jalan yang harus kami lalui, mungkin berliku-liku bahkan penuh onak dan duri. Tapi kami yakin, selalu ada kuasa-Mu di setiap fase-fase perjalanan yang kami tempuh, bahkan di setiap lini yang kami lewati. (Ummu Ahmad)
akhlaknya maka nikahkanlah dia, dan bila tidak kamu lakukan akan terjadi fitnah di muka bumi dan kerusakan yang besar. (HR. At Tirmidzi dan Ahmad).
Baca Juga : Teruntuk Suamiku Tersayang
Jalan hidup ini, menyadarkanku bahwa sebenarnya kita tengah menjalani takdir-Nya. Bahwa apa dan bagaimanapun rencana tersusun matang, semua tidak akan berlaku tanpa izin dan kehendak-Nya. Seperti yang terjadi padaku…
Ketika tiba-tiba seorang ustadzah memberiku tawaran untuk menikah, satu persatu rencana yang ada di pikiranku saat itu memudar. Bukan apa-apa, aku hanya merasa tidak ada alasan bagiku untuk menolaknya.
Usiaku waktu itu yang masih terbilang muda, membuatku sama sekali tidak berpikir bahwa aku akan segera menikah. Meskipun waktu tawaran itu datang, aku merasa ini jawaban Alloh atas permohonanku akan hadirnya seorang teman yang bisa menguatkanku di saat aku menghadapi bapak yang semakin antipati terhadap jilbab dan kegiatan keislaman yang kuikuti.
Teman, yang ketika aku membutuhkan tempat bercerita dia bisa dan mau mendengar. Teman, yang ketika aku membutuhkan tambahan kekuatan untuk bertahan, ia bisa membantu. Bukan teman yang ketika aku sedih teringat bapak, dia juga ikut bersedih dan malah menangis, semakin menambah kesedihanku karena perasaan bersalah sudah menularkan kesedihan ini kepada orang lain.
Subhanalloh, Alloh mengirim seorang suami sebagai jawaban doaku tersebut. Memang, suamilah yang nantinya akan selalu bisa menjadi teman yang membantu menguatkan ketika seorang wanita lemah. Suamilah yang juga bisa diharapkan masuk dan mempengaruhi keluarga istri untuk lebih dekat kepada Islam.
Dan sekali lagi, aku tidak punya alasan menolaknya, apalagi setelah dia menyatakan siap menghadapi bapak beserta “saingannya”, calon suami yang sudah disiapkan bapak untukku, asal aku juga maju. Bahkan, kedua orangtuanya yang waktu itu belum aku kenalpun menyatakan siap melindungiku. Ya Alloh, kali ini izinkan hamba meneteskan air mata untuk sebuah perasaan yang sulit diterjemahkan. Haru, bahagia, takut, tapi ingin…
Haru, karena Alloh ternyata begitu cepat mengikatkan hati-hati ini. Bahagia, karena ternyata aku tidak sendiri. Takut tidak bisa mendampinginya dengan baik nantinya. Ingin… Aku ingin punya orangtua seperti orangtuanya, calon mertuaku. Tapi tidak, bagaimanapun sikap bapak terhadapku, dia tetap orangtuaku, yang selalu ingin aku hormati.
Aku yakin, suatu saat nanti Alloh izinkan kami melangkah bersama-sama dalam indahnya hidayah. Aku yakin, sekeras apapun hati bapak, dengan do’a tiada henti, suatu hari nanti beliau akan berubah. Bukankah sahabat Umar bin Khottob juga berhati keras sebelum masuk Islam…
* * *
Alhamdulillah, melalui pakdhe, aku bisa membujuk bapak untuk menerimamu menghadapnya. Menjelaskan maksud kedatanganmu, aku tahu, engkau berusaha menekankan kepada bapak bahwa jilbabkulah yang membuatmu tertarik untuk melamarku. Jilbab yang selama ini ditentang bapak habis-habisan.
Atas kehendak Allah, bapak menerimamu menjadi menantunya. Mudah-mudahan melembutnya hati ini menjadi awal kelembutan hati bapak selanjutnya untuk menerima hidayah-Mu ya Alloh. Izinkan kami terus berusaha.
Antara percaya dan tidak, akhirnya hari yang telah ditetapkan pun tiba. Ada ketakutan dalam hatiku, kalau-kalau walimahan nanti akan ada banyak penyimpangan. Tapi Allahu Akbar, entah apa yang membuat bapak menuruti segala kata-katamu. Entah bagaimana engkau merangkai kata begitu lembut hingga mampu mengeluarkan hujjah yang bisa diterima oleh orang sekeras bapak.
Alhamdulillah, bagaimana aku harus mensyukuri ke Maha Besaran-Mu ya Allah…Walimatul ‘ursy berlangsung tanpa janur (Janur yang sudah disiapkan tidak jadi dipasang) dan tanpa simbol-simbol lain yang mengarah kepada kesyirikan dan bid’ah. Semuanya, subhanalloh, karena kepandaianmu menghadapi bapak, dengan izin Allah tentunya.
Pun ketika bapak berkeras supaya aku dirias seperti pengantin-pengantin lain, engkau mengatakan bahwa engkau tidak rela kalau bibirku pecah-pecah karena dilipstik. Dan bibirku…ternyata memang pecah-pecah begitu dilipstik, hingga bapak kemudian menyuruhku menghapus seluruh riasanku dan membiarkanku tampil biasa.
Tentang musik, engkau mengatakan bahwa nantinya musik hanya akan mengganggu. Konsentrasi kita menemui tamu-tamu terbagi untuk mendengarkan musik. Jawaban sederhana yang ternyata bisa diterima bapak. Sound sistem yang sudah terpasangpun akhirnya nganggur. Mungkin, satu yang membuat perdebatan panjang, dipisahkannya tamu laki-laki dan wanita. Bapak berkeras itu tidak bisa dilaksanakan karena tidak biasa.
Itu pun kemudian, engkau bisa memberikan alternatif sebagai jalan tengah kepada bapak. Tamu laki-laki dan wanita terpisah harinya. Kalau walimatul ‘Ursy harus berlangsung lebih dari sehari menurutmu itu lebih baik daripada terjadi ikhtilat. Toh bapak juga merencanakan walimahan berlangsung selama tiga hari.
Lelah, setelah dua hari tamu datang tiada henti. Tapi Alhamdulillah, sesuai rencana. Ya Alloh, inilah usaha maksimal yang bisa kami lakukan. Mudah-mudahan Engkau berkenan melimpahkan barokah kepada pernikahan dan rumah tangga kami.
Saat pertama aku mengagumimu suamiku, adalah saat-saat dimana engkau selalu minta izin ke masjid setiap adzan berkumandang, meskipun saat itu kita sedang sibuk menerima tamu di hari pernikahan kita.
Baca Juga : Ibu Maafkan Anakmu Ini
Ya Allah, ikatkan selalu hatinya dengan rumah-Mu…Kami tahu, masih panjang jalan yang harus kami lalui, mungkin berliku-liku bahkan penuh onak dan duri. Tapi kami yakin, selalu ada kuasa-Mu di setiap fase-fase perjalanan yang kami tempuh, bahkan di setiap lini yang kami lewati. (Ummu Ahmad)