Ketika seorang Muslim-pria alias wanita-akan menikah, biasanya
bakal timbul perasaan yang bermacam-macam. Ada rasa gundah, resah, risau, bimbang, tergolong tidak sabar menantikan datangnya sang pendamping. Bahkan ketika dalam proses ta’aruf sekalipun tetap ada perasaan keraguan.
Tetapi, ada juga timbul rasa kekhawatiran. Bagi calon suami, maka rasa khawatir menghantui pikirannya. Khawatir bagaimana kelak seusai menikah? Apakah bisa mencukupi kebutuhan rumah tangga alias tidak? Bagaimana kelak seusai mempunyai anak, mampukah mengajar serta mendidik mereka? Apalagi kebutuhan nasib sehari-hari terus mahal dari tahun ke tahun.
Sebaliknya, bagi mereka yang tidak mempunyai kekhawatiran soal ekonomi serta telah mempunyai calon pasangan, tetapi sengaja tidak segera menikah. Mereka berasalan, bahwa menikah itu tidak gampang, harus menemukan ketepatan dulu, harus berpendidikan tinggi dulu, harus kaya terlebih dulu. Maka faktor itu bakal menjadi tumpukan dosa apabila melalui masa-masa matang tidak mempersibuk diri dengan kebaikan.Masalah mutlak seseorang yang bakal menikah merupakan penyakit ragu-ragu. Apabila penyakit tersebut hinggap dalam pikiran serta hati seseorang, maka saat itu juga waktu yang paling tepat untuk introspeksi diri terhadap keyakinannya. Sebab itulah kunci mutlak dalam melangkah ke depan dalam menghadapi ujian serta cobaan nasib.Berkaitan dengan kekhawatiran itu, yang sebabnya seseorang tidak segera menikah padahal telah mempunyai calon pasangan, Allah Ta’ala berkalam,
وَأَنْكِحُوا الأيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ (٣٢
“Dan nikahkanlah orang-orang yang tetap membujang di antara kamu, serta juga orang-orang yang pantas (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki serta perempuan. Apabila mereka miskin, Allah bakal memberbagi performa terhadap mereka dengan karunia-Nya. Serta Allah Mahaluas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengenal.” (Qs. an-Nur [24]: 32)
Apabila terbukti Allah Ta’ala berjanji demikian, kenapa harus ragu? Apabila terbukti janji dari Zat yang Mahabenar itu telah jelas tertulis di dalam al-Qur’anul Karim, mengapa mesti ada ketakutan untuk segera menikah? Padahal, calon pasangan telah ada. Padahal, umur telah waktunya serta terbukti pantas segera menikah. Maka jalan keluarnya merupakan berikhtiar. Apabila berikhtiar telah diperbuat, maka jangan sempat berhenti sekaligus berdoa. Percayalah, Allah Ta’ala telah menentukan saat-saat yang tepat serta paling baik bagi hamba-Nya yang tidak sempat putus asa dari Rahmat-Nya.
Merupakan keharusan kami untuk mempercayai janji Allah. Jangan hingga bisikan-bisikan setan menyusup ke dalam hati. Sebab itu bisa menggoyahkan keimanan kami terhadap kebenaran janji Allah Ta’ala, tergolong ketika Allah Ta’ala berjanji bakal memampukan hamba-Nya yang miskin bila menikah. Tiada yang susah bagi Allah Ta’ala apabila ingin memberbagi karunia terhadap hamba-Nya. Sungguh, Allah Ta’ala Maha Peterjangkau serta Pemberi rezeki. Tinggal kami meyakini alias tidak. Dengan keyakinan itu, nasib kami bakal optimis serta rutin berpikir posititf.
Berkaitan dengan karunia Allah Ta’ala, yang dimaksud merupakan rezeki. Rezeki bisa berupa materi alias non materi. Tetapi dikatakan rezeki apabila di dalamnya tersedia kegunaaan bagi dirinya serta orang lain.
Umpama, seorang ikhwan tidak mempunyai sepeda motor yang bisa memberbagi kegunaaan yang tidak sedikit seusai menikah. Berangkat ke mana-mana naik angkutan umum alias bis. Tetapi, dengan kebaikan-kebaikan yang tulus, maka Allah Ta’ala membuka pintu-pintu rezeki. Tiba-tiba ada dermawan yang menghibahkan sepeda motor untuk kebutuhan dakwah serta sebagainya. Maka motor tersebut menjadi kegunaaan untuk meningkatkan kebaikan. Jadi Allah Ta’ala terus membukakan pintu-pintu karunia-Nya sebagai “hadiah” sebab mekegunaaankan nikmat pada jalur yang bijak.
Demikian pula rezeki non materi. Sebagai contoh, seseorang yang belum menikah juga mempunyai kesehatan, peluang, alias bahkan performa yang sama dengan seusai menikah. Terbukti nasibnya sederhana seusai menikah. Tetapi dirinya bisa nasib tersanjung dengan keadaan yang dijalani. Karirnya terus memuncak, tatapan matanya terhadap masa depan senantiasa optimis, serta bisa memberbagi kegunaaan terhadap orang lain. Itulah janji-janji Allah Ta’ala bagi yang telah menikah dengan keyakinan yang mantap serta keimanan yang benar.
Pintu-pintu rezeki bakal terbuka lebar apabila seseorang telah mengalami suatu jenjang memtersanjungkan bernama pernikahan. Seusai kami berusaha serta berdoa, rezeki bakal datang dengan segera. Dengan menikah, kami menginginkan Allah Ta’ala menganugerahkan rezeki yang barakah. Yaitu rezeki yang bisa menentramkan hati serta mensucikan jiwa. Jadi terus membikin kami bertersanjung serta meningkatkan rasa syukur terhadap nikmat yang telah Allah Ta’ala berbagi dengan terus giat serta tekun dalam beribadah serta bekerja. Hanya terhadap Allah kami menyembah, serta hanya terhadap Allah kami memohon pertolongan.
bakal timbul perasaan yang bermacam-macam. Ada rasa gundah, resah, risau, bimbang, tergolong tidak sabar menantikan datangnya sang pendamping. Bahkan ketika dalam proses ta’aruf sekalipun tetap ada perasaan keraguan.
Baca Juga : Cerita Nyata : Kasih Sayang Ibu Yang Tulus
Tetapi, ada juga timbul rasa kekhawatiran. Bagi calon suami, maka rasa khawatir menghantui pikirannya. Khawatir bagaimana kelak seusai menikah? Apakah bisa mencukupi kebutuhan rumah tangga alias tidak? Bagaimana kelak seusai mempunyai anak, mampukah mengajar serta mendidik mereka? Apalagi kebutuhan nasib sehari-hari terus mahal dari tahun ke tahun.
Sebaliknya, bagi mereka yang tidak mempunyai kekhawatiran soal ekonomi serta telah mempunyai calon pasangan, tetapi sengaja tidak segera menikah. Mereka berasalan, bahwa menikah itu tidak gampang, harus menemukan ketepatan dulu, harus berpendidikan tinggi dulu, harus kaya terlebih dulu. Maka faktor itu bakal menjadi tumpukan dosa apabila melalui masa-masa matang tidak mempersibuk diri dengan kebaikan.Masalah mutlak seseorang yang bakal menikah merupakan penyakit ragu-ragu. Apabila penyakit tersebut hinggap dalam pikiran serta hati seseorang, maka saat itu juga waktu yang paling tepat untuk introspeksi diri terhadap keyakinannya. Sebab itulah kunci mutlak dalam melangkah ke depan dalam menghadapi ujian serta cobaan nasib.Berkaitan dengan kekhawatiran itu, yang sebabnya seseorang tidak segera menikah padahal telah mempunyai calon pasangan, Allah Ta’ala berkalam,
وَأَنْكِحُوا الأيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ (٣٢
“Dan nikahkanlah orang-orang yang tetap membujang di antara kamu, serta juga orang-orang yang pantas (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki serta perempuan. Apabila mereka miskin, Allah bakal memberbagi performa terhadap mereka dengan karunia-Nya. Serta Allah Mahaluas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengenal.” (Qs. an-Nur [24]: 32)
Apabila terbukti Allah Ta’ala berjanji demikian, kenapa harus ragu? Apabila terbukti janji dari Zat yang Mahabenar itu telah jelas tertulis di dalam al-Qur’anul Karim, mengapa mesti ada ketakutan untuk segera menikah? Padahal, calon pasangan telah ada. Padahal, umur telah waktunya serta terbukti pantas segera menikah. Maka jalan keluarnya merupakan berikhtiar. Apabila berikhtiar telah diperbuat, maka jangan sempat berhenti sekaligus berdoa. Percayalah, Allah Ta’ala telah menentukan saat-saat yang tepat serta paling baik bagi hamba-Nya yang tidak sempat putus asa dari Rahmat-Nya.
Merupakan keharusan kami untuk mempercayai janji Allah. Jangan hingga bisikan-bisikan setan menyusup ke dalam hati. Sebab itu bisa menggoyahkan keimanan kami terhadap kebenaran janji Allah Ta’ala, tergolong ketika Allah Ta’ala berjanji bakal memampukan hamba-Nya yang miskin bila menikah. Tiada yang susah bagi Allah Ta’ala apabila ingin memberbagi karunia terhadap hamba-Nya. Sungguh, Allah Ta’ala Maha Peterjangkau serta Pemberi rezeki. Tinggal kami meyakini alias tidak. Dengan keyakinan itu, nasib kami bakal optimis serta rutin berpikir posititf.
Berkaitan dengan karunia Allah Ta’ala, yang dimaksud merupakan rezeki. Rezeki bisa berupa materi alias non materi. Tetapi dikatakan rezeki apabila di dalamnya tersedia kegunaaan bagi dirinya serta orang lain.
Umpama, seorang ikhwan tidak mempunyai sepeda motor yang bisa memberbagi kegunaaan yang tidak sedikit seusai menikah. Berangkat ke mana-mana naik angkutan umum alias bis. Tetapi, dengan kebaikan-kebaikan yang tulus, maka Allah Ta’ala membuka pintu-pintu rezeki. Tiba-tiba ada dermawan yang menghibahkan sepeda motor untuk kebutuhan dakwah serta sebagainya. Maka motor tersebut menjadi kegunaaan untuk meningkatkan kebaikan. Jadi Allah Ta’ala terus membukakan pintu-pintu karunia-Nya sebagai “hadiah” sebab mekegunaaankan nikmat pada jalur yang bijak.
Demikian pula rezeki non materi. Sebagai contoh, seseorang yang belum menikah juga mempunyai kesehatan, peluang, alias bahkan performa yang sama dengan seusai menikah. Terbukti nasibnya sederhana seusai menikah. Tetapi dirinya bisa nasib tersanjung dengan keadaan yang dijalani. Karirnya terus memuncak, tatapan matanya terhadap masa depan senantiasa optimis, serta bisa memberbagi kegunaaan terhadap orang lain. Itulah janji-janji Allah Ta’ala bagi yang telah menikah dengan keyakinan yang mantap serta keimanan yang benar.
Baca Juga : Membahagiakan Istri Bisa Melancarkan Rezeki ?
Pintu-pintu rezeki bakal terbuka lebar apabila seseorang telah mengalami suatu jenjang memtersanjungkan bernama pernikahan. Seusai kami berusaha serta berdoa, rezeki bakal datang dengan segera. Dengan menikah, kami menginginkan Allah Ta’ala menganugerahkan rezeki yang barakah. Yaitu rezeki yang bisa menentramkan hati serta mensucikan jiwa. Jadi terus membikin kami bertersanjung serta meningkatkan rasa syukur terhadap nikmat yang telah Allah Ta’ala berbagi dengan terus giat serta tekun dalam beribadah serta bekerja. Hanya terhadap Allah kami menyembah, serta hanya terhadap Allah kami memohon pertolongan.