Histats

Batas Suami Tak Beri ‘Jatah’ Biologis Pada Istri

Urusan biologis dalam berumah tangga menjadi salah satu aspek penunjang
kebahagiaan. Tidak hanya istri yang harus melayani suami secara lahir batin, tapi sang pemimpin rumah tangga ini juga memiliki kewajiban serupa.

Batas Suami Tak Beri ‘Jatah’ Biologis Pada Istri


Namun dalam satu kondisi, suami dan istri bisa saja terpisah jauh dalam jangka waktu yang lama. Sehingga dalam rentang waktu tersebut kebutuhan biologis istri tidak terpenuhi.

Tidak hanya jarak, terkadang ada hal-hal lain yang menyebabkan suami tidak memberi nafkah ini kepada istrinya. Lantas bagaimana pandangan Islam terhadap hal ini? Kapan batas minimal suami tidak memberikan nafkah biologis kepada istrinya?

Agama Islam mengatur seluruh aspek kehidupan termasuk dalam hal berumah tangga.  Hal ini mungkin terdengar klasik, namun agama yang dibawa Nabi Muhammad SAW  ini juga sudah mengaturnya untuk menjaga keutuhan rumah tangga umatnya. Menurut Ibnu Hazm berkata, suami wajib menjimak istrinya sekurang-kurangnya satu kali dalam sebulan jika ia mampu.

Untuk urusan ini, Allah SWT memang sudah memerintahkan hamba-hamba-Nya yakni pria yang sudah menikah untuk memberikan nafkah biologis kepada istrinya. Hal ini dijelaskan dalam banyak ayat, dua ayat berikut menjelaskan hal tersebut.

“..apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu…” (QS. Al Baqarah: 222).

“Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. Dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu, dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-Nya” (QS. Al Baqarah: 223).

Namun fakta dalam kehidupannya tidak selamanya urusan nafkah biologis ini berjalan lancar. Pasalnya ada hal-hal yang membuat pasangan suami menahan hasrat biologisnya.

Berbeda dengan Ibnu Hazm, Imam Ahmad mengatakan bahwa batas minimal suami tidak memberikan hak biologis istrinya dalah empat bulan. Pendapat ini berpijak pada ketetapan yang dibuat oleh Amirul Mukminin, Umar bin Khattab.

Kala itu, Islam tengah dalam masa jaya karena berhasil menang dalam setiap peperangan. Para bala tentara dengan gagah berani menerjang lawan membawa bendera Islam untuk melawan musuh. Namun dibalik kemenangan yang diterima, ada hati istri yang sedih karena ditinggal suaminya bertugas untuk berperang.

Hal ini yang diketahui oleh Umar bin Khattab saat melakukan blusukan ke kampung-kampung. Saat menjumpai sebuah rumah, khalifah kedua ini mendengaran syair seorang wanita yang begitu sedih. Ia begitu merindukan suaminya yang sudah bertugas selama berbulan-bulan.

“Alangkah ringannya  bagi  umar bin Khattab dan bagaimana gelisahnya seorang istri yang telah lama ditinggalkan oleh  suaminya”

Begitulah potongan syair yang diucapkan wanita tersebut. Hal ini tentu saja membuat Umar bin Khattab gundah. Ia lantas bergegas menemui putrinya Hafsoh untuk meminta pertimbangan tentang berapa bulan seorang wanita mampu bertahan tanpa suaminya, apa kata Hafsoh :”sekuat-kuat wanita dia hanya bisa bertahan selama empat bulan"

Sejak itu Umar menyuruh pasukan yang sudah dimedan perang selama empat bulan untuk pulang dan digantikan dengan pasukan yang lain.

Sementara itu, menurut Imam Al Ghazali, suami seharusnya menjimak istri setiap empat malam satu kali. Hal ini berdasarkan batas poligami dalam Islam yang berjumlah empat orang. Namun boleh diundurkan dari waktu tersebut bahkan sangat bijaksana kalau lebih dari sekali dalam empat malam atau kurang dari itu, sesuai kebutuhan istri dalam memenuhi kebutuhan seksualnya.  Meski terdapat perbedaan di kalangan ulama, namun setiap perbedaan itu ada faedah bagi umat.

Sumber : infoyunik.com