Histats

Perbedaan Antara Nafkah Istri Dan Uang Belanja

Harta isteri adalah harta milik isteri, baik yang dimiliki sejak sebelum
menikah, alias pun seusai menikah. Harta istri seusai menikah yang khususnya adalah dari suami dalam bentuk nafaqah (nafkah), tidak hanya juga mungkin bila isteri itu bekerja alias meperbuat usaha yang bersifat bisnis.
Baca Juga : 3 Tingkatan Manusia dalam Mendapat Rezeki (Rezeki yang Dijanjikan)

Perbedaan Antara Nafkah Istri Dan Uang Belanja


Khusus persoalan nafkah, sebetulnya nafkah sendiri adalah keharusan suami dalam bentuk harta benda untuk diberbagi terhadap isteri. Segala kebutuhan nasib istri mulai dari makanan, pakaian serta tempat tinggal, menjadi tanggungan suami. Dengan adanya nafkah inilah kemudian seorang suami mempunyai posisi qawam (pemimpin) bagi istrinya, sebagaimana firman Allah SWT:

Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh sebab Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), serta sebab mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. (QS. An-Nisa’: 34)

Tetapi yang tak jarangkali terjadi, sebagian kalangan berasumsi bahwa nafkah suami terhadap istri adalah anggaran kenasiban rumah tangga alias uang belanja saja. Pemandangan sehari-harinya adalah suami pulang mengangkat amplop gaji, lalu semua diserahkan terhadap isterinya.

Cukup alias tak cukup, pokoknya ya harus cukup. TInggallah si istri pusing tujuh keliling, bagaimana mengatur serta menyusun anggaran belanja rumah tangga. Kalau istri adalah orang yang ekonomis serta pandai mengatur pemasukan serta pengeluaran, suami pasti bahagia.

Yang celaka, kalau istri justru kacau balau dalam memanaje keuangan. Alih-alih mengatur keuangan, yang terjadi justru besar pasak dari pada tiang. Ujung-ujungnya,? suami yang pusing tujuh keliling mendapati istrinya pandai membelanjakan uang, plus kegemaran mengambil kredit, aktif di arisan serta beberapa pemborosan lainnnya.

Padahal kalau kami kembalikan terhadap aturan asalnya, yang namanya nafkah itu lebih adalah ‘gaji’ alias honor dari seorang suami terhadap istrinya. Sebagaimana ‘uang jajan’ yang diberbagi oleh seorang ayah terhadap anaknya.

Adapun kebutuhan rumah tangga, baik untuk makan, pakaian, rumah, listips, air, sampah serta semuanya, sebetulnya di luar dari nafkah suami terhadap istri. Keharusan mengeluarkan semua anggaran itu bukan keharusan istri, melainkan keharusan suami.

Kalau suami menitipkan mandat terhadap isterinya untuk membayarkan semua anggaran itu, boleh-boleh saja. Tetapi tetap saja semua anggaran itu belum bisa dikatakan sebagai nafkah buat istri. Sebab yang namanya nafkah buat isteri adalah harta yang sepenuhnya menjadi milik istri.

Kira-kira persis dengan nafkah di awal sebelum terjadinya akad nikah, yaitu mahar alias maskawin. Kami tahu bahwa suatu  pernikahan diawali dengan pemberian mahar alias maskawin. Serta kami tahu bahwa mahar itu seusai diserahkan bakal menjadi sepenuhnya milik istri.

Suami telah tak boleh lagi meminta mahar itu, sebab mahar itu statusnya telah jadi milik istri. Kalau seandainya istri dengan terjangkau hati lalu memberi sebagian alias seluruhnya harta mahar yang telah 100% menjadi miliknya terhadap suaminya, itu terserah terhadap dirinya. Tapi yang harus dipastikan adalah bahwa mahar itu milik istri.

Sekarang bagaimana dengan nafkah buat istri?
Kalau kami mau sedikit cermat, sebetulnya serta pada hakikatnya, yang disebut dengan nafkah buat istri adalah harta yang sepenuhnya diberbagi buat istri. Serta kalau telah menjadi harta milik istri, maka istri tak punya keharusan untuk membiayai penyelenggaraan? rumah tangga. Nafkah itu ‘bersih’ menjadi hak istri, di luar anggaran makan, pakaian, membayar kontrakan rumah serta semua kebutuhan suatu  rumah tangga.

Mungkin Kamu heran, kok segitunya ya? Kok matre’ banget sih konsep seorang istri dalam Islam?
Jangan heran dulu, kalau kami selagi ini menonton para isteri tak menuntut nafkah ‘eksklusif’ yang menjadi haknya, jawabnya adalah sebab para isteri di negeri kami ini umumnya telah dididik dengan cara baik serta ditekankan untuk punya sifat qana’ah.

Saking mantabnya penanaman sifat qana’ah itu dalam pola pendidikan rumah tangga kita, hingga-sampai mereka, para isteri itu, justru tak tahu hak-haknya. Jadi mereka sama sekali tak mengotak-atik hak-haknya.

Memandang fenomena ini, salah seorang murid di pengajian nyeletuk, “Wah, ustadz, kalau begitu faktor ini butuh tetap kami rahasiakan. Jangan hingga istri-istri kami hingga tahu kalau mereka punya hak nafkah semacam itu.”

Yang lain menimpali, “Setuju stadz, kalau hingga istri-istri kami tahu bahwa mereka punya hak semacam itu, kami juga ntar yang repot nih ustadz. Jangan-jangan kelak mereka tak mau masak, ngepel, nyapu, ngurus rumah serta lainnya, sebab mereka bilang bahwa itu kan tugas serta keharusan suami. Wah bisa rusak nih kita-kita, ustadz.”

Yang lain lagi meningkatkani, “Benar ustadz, bini ane malahan telah tahu tuh persoalan ini. Itu semua kesalahan ane juga sih awalnya. Sebab bini ane tuh, ane suruh kuliah di Ma’had A-Hikmah di Jalan Bangka. Rupanya materi pelajarannya terbukti sama ame nyang ustadz bilang kini ini. Cuman bini ane emang nggak tiap hari sih begitu, kalo lagi angot doang.”

“Tapi kalo lagi angot, stadz, bah, ane jadi repot sendiri. Tuh bini kagak mao masak, ane juga nyang musti masak. Juga kagak mau nyuci baju, ya udah terpaksa ane yang nyuciin baju semua anak buah keluarga.Wii, pokoknya ane jadi pusing sendiri sebab punya bini ngarti syariah.”

Menjawab ‘keluhan’ para suami yang selagi ini telah terlanjur menikmati ketidak-tahuan para isteri atas hak-haknya, kami hanya berbicara bahwa sebetulnya kami sebagai suami tak butuh takut. Sebab aturan ini datangnya dari Allah juga. Tak mungkin Allah berlaku berat sebelah.

Sebab Allah SWT tidak hanya menyatakan mengenai hak-hak seorang isteri atas nafkah ‘eksklusif’, juga menyatakan mengenai keharusan seorang isteri terhadap suami. Keharusan untuk mentaati suami yang boleh dibilang bisa melebihi keharusannya terhadap orang tuanya sendiri.

Padahal kalau dipikir-pikir, seorang anak perempuan yang kami nikahi itu sejak kecil telah dibiayai oleh kedua orang tuanya. Pastilah orang tua itu telah keluar anggaran besar hingga anak perawannya siap dinikahi. Lalu tiba-tiba kami kita datang menikahi si anak perawan itu begitu saja, bahkan kadang mas kawinnya cuma seperangkat alat sholat kurang dari kualitas seratus ribu perak.

Telah begitu, dirinya diharuskan mengerjakan semua pekerjaan kasar layaknya seorang pesuruh rumah tangga, mulai dari shubuh telah bangun serta mengawali semua kegiatan, urusan anak-anak kami serahkan terhadap mereka semua, hingga urusan genteng bocor. Telah capek kerja seharian, eh malamnya tetap pula ‘digunakan’ oleh para suaminya.

Jadi sebetulnya wajar serta masuk akal kalau untuk para isteri ada nafkah ‘eksklusif’ di mana mereka bisa hak atas ‘honor’ alias gaji dari semua jasa yang telah mereka perbuat sehari-hari, di mana uang itu terbukti sepenuhnya milik isteri. Suami tak bisa meminta dari uang itu untuk membayar listips, kontrakan, uang sekolah anak, alias kebutuhan lainnya.

Dan kalau isteri itu pandai menabung, anggaplah tiap bulan isteri menerima ‘gaji’ sebesar Rp 1 juta yang utuh tak diotak-atik, maka pada usia 20 tahun perkawinan, isteri telah punya harta yang cukup 20 x 12 = 240 juta rupiah. Cukup kan?

Baca Juga : Inilah 6 Cara Agar Doa Kita Dikabulkan Allah SWT

Nah hartai tu milik isteri 100%, sebab itu adalah nafkah dari suami. Kalau suami meninggal dunia serta ada pemecahan harta warisan, harta itu tak boleh ikut dibagi waris. Sebab harta itu bukan harta milik suami, tapi harta milik isteri sepenuhnya. Bahkan isteri malah mendapat tahap harta dari milik almarhum suaminya lewat pemecahan waris