Tidak ada sebuah model pengelolaan keuangan keluarga yang
standar yang dapat diterapkan oleh setiap keluarga
BANYAK para bujang gadis atau pasangan yang baru menikah menanggapi bahwa perlunya mengelola keuangan pasnya adalah setelah menikah. Lihat komentar di bawah:
Yangie dan Agung: “Ada amanah yang harus dikelola bersama, makanya penting sekali perencanaan keuangan setelah menikah.”
Siska dan Heru: “Pengeluaran lebih banyak dari pendapatan sehingga perlu perencanaan serius.”
Okky: “Ada penghasilan ganda jadi baru bisa ada yang dikelola.”
Sheyka: “Ada transaksi pinjam meminjam atau saling memberi antara suami dan istri jadi perlu adanya perencanaan keuangan.”
Tapi menurut Tiffany, setelah menikah dia pikir tidak perlu pengelolaan keuangan kan sudah ada suami, lain halnya ketika sebelum menikah, uang milik pribadi harus benar – benar diatur. Namun akhirnya dia akui bahwa pendekatannya kurang pas.
Ayu lain lagi, bagi dia, nikah atau ga nikah, perencanaan keuangan harus tetap dijalani kan sesuai fungsi uang yang 3S ujarnya, spending, saving, dan sharing.
Ehmmm….jadi “baper” nih, jadi yang mana dong sebaiknya kita adopsi?
Mulailah Sejak Awal, dengan Niat Ibadah
Mengelola keuangan (istilah ini lebih tepat dari merencanakan keuangan), tentu saja tidak lepas dari niat. Sesuai dengan niat kita dalam menjalankan kehidupan adalah tentunya untuk selalu beribadah kepada Allah Subhanahu Wata’ala (lihat QS Adz-Dzariyat (51):56), tentu termasuk juga ketika menjalankan aktifitas pengelolaan keuangan.
Sebagian anak – anak berusia tujuh tahun sudah bisa menerima latihan awal pengelolaan keuangan sehingga dia akan tumbuh lebih prihatin dalam pengelolaan keuangannya kelak. Di awal latihan, minimal anak – anak memahami makna uang yang ternyata adalah amanah Allah Allah Subhanahu Wata’ala yang harus dijaga bukan hanya dengan menyimpannya tetapi juga membelanjakannya. Hasilnya anak – anak akan lebih menghormati orangtuanya di kala senang dan susah karena menyadari bahwa uang tidak selamanya milik kita.
Untuk memastikan keuangan keluarga dapat dikelola dengan baik, anak – anak diberikan latihan bekerja dan berwirausaha ala Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam. Di situlah orangtua mempunyai kesempatan untuk mengajarkan transaksi – transaksi muamalah sesuai dengan syariah termasuk memahami zakat, infaq dan shodaqah.
Namun jangan terlalu juga membebaskan anak – anak dengan uang dan harta. Maka dari itu perlu diperhatikan dan dikawal penggunaannya (tasarruf) oleh orangtua/wali sang anak karena mereka belum sempurna akalnya atau tidak mampu mengelola uang dan hartanya (lihat QS An-Nisa’ (4): 5 dan Tafsir Ibnu Katsir).
Tentukan hak dan kewajiban
Dalam QS An-Nisa (4):34 jelas bahwa lelaki dalam rumah tangga adalah pemimpin (qawwam) keluarga sehingga dia yang wajib memberikan nafkah kepada istrinya dari sebagian hartanya.
Namun walau ada peran kepemimpinan (qawammah) laki – laki, semua mukmin baik lelaki maupun perempuan termasuk pasangan suami – istri wajib menjadi penolong (al-walayah) antara sesamanya (QS At-Taubah (9):71) dalam hal mengerjakan yang makruf, mencegah yang munkar, mendirikan sholat, menunaikan zakat, dan taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Pada akhirnya akan turun rahmat dari Allah Allah Subhanahu Wata’ala untuk mereka.
Dari makna qawwamah, maka kewajiban seorang anak laki – laki dewasa(baligh/mumayyiz)adalah mengatur keuangan untuk nafkah dirinya dan juga siapapun yang menjadi tanggung jawabnya, misalnya orangtua atau adik – adik yang belum bisa mandiri. Begitu juga kewajiban suami adalah memberi nafkah kepada istrinya dari sebagian hartanya.
Namun, untuk keadaan tertentu dimana anak perempuan atau istri yang harus memberi nafkah, maka hal tersebut masuk dalam kategori menolong (al-walayah), dengan syarat qawwamah suami tetap terjaga.
Tentunya penentuan hak dan kewajiban ini harus dikomunikasikan dan dimusyawarahkan dengan baik sehingga tidak menimbulkan rasa sombong, tidak ikhlas dan tidak amanah.
Jangan kaku, adaptasi dengan perubahan
Hal lain yang menjadi faktor naik turunnya semangat ketika menjalankan perencanaan keuangan adalah dalam menghadapi perubahan. Misalnya, perubahan dalam menjalankan kehidupan yang tadinya di Indonesia, kemudian harus tinggal sementara di Inggris karena tugas belajar. Perubahan yang tadinya mempunyai penghasilan yang lebih dari mencukupi kehidupan sehari – hari namun saat ini sedang menanggung hutang.
Tidak ada sebuah model pengelolaan keuangan keluarga yang standar yang dapat diterapkan oleh setiap keluarga. Dengan kata lain, selalu adaptasi dengan perubahan misalnya gaya hidup, cara baru pengaturan dan pemisahan tanggung jawab keuangan di rumah, pembuatan catatan pemasukan dan pengeluaran dan lain sebagainya. Apapun perubahan itu, selalu tekuni cara yang dianggap terbaik.
Pastikan konsisten
Konsistensi adalah salah faktor terberat dalam hal pengelolaan keuangan keluarga. Mengapa? Godaannya luar biasa yang lalu lalang dalam telinga kita, misalnya untuk apa mengelola yang sedikit ini, tambah pusing aja! Mengapa serius sekali mikirnya, toh Allah sudah atur semuanya, terima saja apa adanya!
Mengelola keuangan adalah sejalan dengan salah satu ayat Al-Qur’an tentang kisah Nabi Yusuf ketika menakwilkan mimpi Raja Mesir untuk mempersiapkan hidup di masa sulit ketika di masa senang (QS Yusuf (12): 43-49). Kita juga diajarkan manut dan konsisten dengan ajaran Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam, misalnya cara –cara menahan keinginan duniawi (baca nasihatRasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassallam) kepada Fatimah Az-Zahra ra putrinya dan Ali bin Abi Thalib ra menantunya untuk selalu berzikir kepada Allah), juga dalam mengelola hutang (baca doa ajaran Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam untuk jauh dari lilitan hutang).
Pencapaian Target
Terakhir, kita hanya pandai merencanakan dan menginginkan agar target – target keuangan keluarga tercapai namun hanya Allah SWT yang menentukan. Jadi apapun hasilnya, mari bertawakal kepada Allah Allah Subhanahu Wata’ala dengan terus memohon agar senantiasa diberikan yang terbaik untuk kehidupan kita.
Mengutip taujih Ustaz Cecep Haji Solehudin yang berdomisili di Sydney, Australia, sesungguhnya target yang harus kita capai adalah seperti yang disabdakan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam:
مَنْ أَصْبَحَ مِنْكُمْ آمِنًا فِي سِرْبِهِ، مُعَافًى فِي جَسَدِهِ، عِنْدَهُ قُوتُ يَوْمِهِ، فَكَأَنَّمَا حِيزَتْ لَهُ الدُّنْيَا
“Barangsiapa yang melewati harinya dengan perasaan aman dalam rumahnya, sehat badannya, dan memiliki makanan untuk hari itu, maka seakan-akan ia telah memiliki dunia seisinya.” (HR. Tirmidzi)
Wallahu a’lam bis-shawaab. Salam Sakinah!
Rep: Admin Hidcom
Editor: Cholis Akbar
Sumber : hidayatullah.com
standar yang dapat diterapkan oleh setiap keluarga
BANYAK para bujang gadis atau pasangan yang baru menikah menanggapi bahwa perlunya mengelola keuangan pasnya adalah setelah menikah. Lihat komentar di bawah:
Yangie dan Agung: “Ada amanah yang harus dikelola bersama, makanya penting sekali perencanaan keuangan setelah menikah.”
Siska dan Heru: “Pengeluaran lebih banyak dari pendapatan sehingga perlu perencanaan serius.”
Okky: “Ada penghasilan ganda jadi baru bisa ada yang dikelola.”
Sheyka: “Ada transaksi pinjam meminjam atau saling memberi antara suami dan istri jadi perlu adanya perencanaan keuangan.”
Tapi menurut Tiffany, setelah menikah dia pikir tidak perlu pengelolaan keuangan kan sudah ada suami, lain halnya ketika sebelum menikah, uang milik pribadi harus benar – benar diatur. Namun akhirnya dia akui bahwa pendekatannya kurang pas.
Ayu lain lagi, bagi dia, nikah atau ga nikah, perencanaan keuangan harus tetap dijalani kan sesuai fungsi uang yang 3S ujarnya, spending, saving, dan sharing.
Ehmmm….jadi “baper” nih, jadi yang mana dong sebaiknya kita adopsi?
Mulailah Sejak Awal, dengan Niat Ibadah
Mengelola keuangan (istilah ini lebih tepat dari merencanakan keuangan), tentu saja tidak lepas dari niat. Sesuai dengan niat kita dalam menjalankan kehidupan adalah tentunya untuk selalu beribadah kepada Allah Subhanahu Wata’ala (lihat QS Adz-Dzariyat (51):56), tentu termasuk juga ketika menjalankan aktifitas pengelolaan keuangan.
Sebagian anak – anak berusia tujuh tahun sudah bisa menerima latihan awal pengelolaan keuangan sehingga dia akan tumbuh lebih prihatin dalam pengelolaan keuangannya kelak. Di awal latihan, minimal anak – anak memahami makna uang yang ternyata adalah amanah Allah Allah Subhanahu Wata’ala yang harus dijaga bukan hanya dengan menyimpannya tetapi juga membelanjakannya. Hasilnya anak – anak akan lebih menghormati orangtuanya di kala senang dan susah karena menyadari bahwa uang tidak selamanya milik kita.
Untuk memastikan keuangan keluarga dapat dikelola dengan baik, anak – anak diberikan latihan bekerja dan berwirausaha ala Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam. Di situlah orangtua mempunyai kesempatan untuk mengajarkan transaksi – transaksi muamalah sesuai dengan syariah termasuk memahami zakat, infaq dan shodaqah.
Namun jangan terlalu juga membebaskan anak – anak dengan uang dan harta. Maka dari itu perlu diperhatikan dan dikawal penggunaannya (tasarruf) oleh orangtua/wali sang anak karena mereka belum sempurna akalnya atau tidak mampu mengelola uang dan hartanya (lihat QS An-Nisa’ (4): 5 dan Tafsir Ibnu Katsir).
Tentukan hak dan kewajiban
Dalam QS An-Nisa (4):34 jelas bahwa lelaki dalam rumah tangga adalah pemimpin (qawwam) keluarga sehingga dia yang wajib memberikan nafkah kepada istrinya dari sebagian hartanya.
Namun walau ada peran kepemimpinan (qawammah) laki – laki, semua mukmin baik lelaki maupun perempuan termasuk pasangan suami – istri wajib menjadi penolong (al-walayah) antara sesamanya (QS At-Taubah (9):71) dalam hal mengerjakan yang makruf, mencegah yang munkar, mendirikan sholat, menunaikan zakat, dan taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Pada akhirnya akan turun rahmat dari Allah Allah Subhanahu Wata’ala untuk mereka.
Dari makna qawwamah, maka kewajiban seorang anak laki – laki dewasa(baligh/mumayyiz)adalah mengatur keuangan untuk nafkah dirinya dan juga siapapun yang menjadi tanggung jawabnya, misalnya orangtua atau adik – adik yang belum bisa mandiri. Begitu juga kewajiban suami adalah memberi nafkah kepada istrinya dari sebagian hartanya.
Namun, untuk keadaan tertentu dimana anak perempuan atau istri yang harus memberi nafkah, maka hal tersebut masuk dalam kategori menolong (al-walayah), dengan syarat qawwamah suami tetap terjaga.
Tentunya penentuan hak dan kewajiban ini harus dikomunikasikan dan dimusyawarahkan dengan baik sehingga tidak menimbulkan rasa sombong, tidak ikhlas dan tidak amanah.
Jangan kaku, adaptasi dengan perubahan
Hal lain yang menjadi faktor naik turunnya semangat ketika menjalankan perencanaan keuangan adalah dalam menghadapi perubahan. Misalnya, perubahan dalam menjalankan kehidupan yang tadinya di Indonesia, kemudian harus tinggal sementara di Inggris karena tugas belajar. Perubahan yang tadinya mempunyai penghasilan yang lebih dari mencukupi kehidupan sehari – hari namun saat ini sedang menanggung hutang.
Tidak ada sebuah model pengelolaan keuangan keluarga yang standar yang dapat diterapkan oleh setiap keluarga. Dengan kata lain, selalu adaptasi dengan perubahan misalnya gaya hidup, cara baru pengaturan dan pemisahan tanggung jawab keuangan di rumah, pembuatan catatan pemasukan dan pengeluaran dan lain sebagainya. Apapun perubahan itu, selalu tekuni cara yang dianggap terbaik.
Pastikan konsisten
Konsistensi adalah salah faktor terberat dalam hal pengelolaan keuangan keluarga. Mengapa? Godaannya luar biasa yang lalu lalang dalam telinga kita, misalnya untuk apa mengelola yang sedikit ini, tambah pusing aja! Mengapa serius sekali mikirnya, toh Allah sudah atur semuanya, terima saja apa adanya!
Mengelola keuangan adalah sejalan dengan salah satu ayat Al-Qur’an tentang kisah Nabi Yusuf ketika menakwilkan mimpi Raja Mesir untuk mempersiapkan hidup di masa sulit ketika di masa senang (QS Yusuf (12): 43-49). Kita juga diajarkan manut dan konsisten dengan ajaran Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam, misalnya cara –cara menahan keinginan duniawi (baca nasihatRasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassallam) kepada Fatimah Az-Zahra ra putrinya dan Ali bin Abi Thalib ra menantunya untuk selalu berzikir kepada Allah), juga dalam mengelola hutang (baca doa ajaran Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam untuk jauh dari lilitan hutang).
Pencapaian Target
Terakhir, kita hanya pandai merencanakan dan menginginkan agar target – target keuangan keluarga tercapai namun hanya Allah SWT yang menentukan. Jadi apapun hasilnya, mari bertawakal kepada Allah Allah Subhanahu Wata’ala dengan terus memohon agar senantiasa diberikan yang terbaik untuk kehidupan kita.
Mengutip taujih Ustaz Cecep Haji Solehudin yang berdomisili di Sydney, Australia, sesungguhnya target yang harus kita capai adalah seperti yang disabdakan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam:
مَنْ أَصْبَحَ مِنْكُمْ آمِنًا فِي سِرْبِهِ، مُعَافًى فِي جَسَدِهِ، عِنْدَهُ قُوتُ يَوْمِهِ، فَكَأَنَّمَا حِيزَتْ لَهُ الدُّنْيَا
“Barangsiapa yang melewati harinya dengan perasaan aman dalam rumahnya, sehat badannya, dan memiliki makanan untuk hari itu, maka seakan-akan ia telah memiliki dunia seisinya.” (HR. Tirmidzi)
Wallahu a’lam bis-shawaab. Salam Sakinah!
Rep: Admin Hidcom
Editor: Cholis Akbar
Sumber : hidayatullah.com