Tausiah Islam - Pada hari pernikahanku, aku menggendong istriku. Mobil
pengantin berhenti di depan apartment kami. Teman-teman memaksaku menggendong istriku keluar dari mobil. Lalu aku menggendongnya ke rumah kami. Dirinya tersipu malu-malu. Saat itu, aku adalah seorang pengantin pria yang kuat serta bahagia.
Ini adalah kejadian 10 tahun yang lalu.
Hari-hari berikutnya berlangsung biasa. Kami mempunyai seorang anak, aku bekerja sebagai pengusaha serta berusaha menghasilkan uang lebih. Ketika aset-aset perusahaan meningkat, kasih sayang diantara aku serta istriku seperti mulai menurun.
Istriku seorang pegawai pemerintah. Setiap pagi kami berangkat bersama serta pulang hampir di waktu yang bersamaan. Anak kami bersekolah di sekolah asrama. Kehidupan pernikahan kami terkesan sangat bahagia, tetapi kehidupan yang tenang sepertinya lebih mudah terpengaruh oleh perubahan-perubahan yang tidak terduga.
Lalu Jane datang ke dalam kehidupanku.
Hari itu hari yang cerah. Aku berdiri di balkon yang luas. Jane memelukku dari belakang. Sekali lagi hatiku seperti terbenam di dalam cintanya. Apartment ini aku belikan untuknya. Lalu Jane berkata, "Kau adalah laki-laki yang pandai memikat wanita." Kata-katanya tiba-tiba mengingatkan ku pada istriku. Ketika kami baru menikah, istriku mengatakan "Laki-laki sepertimu, ketika berhasil nanti, bakal memikat tidak sedikit wanita." Memikirkan faktor ini, aku menjadi ragu-ragu. Aku tahu, aku telah mengkhianati istriku.
Aku menyampingkan tangan Jane serta berkata, "Kamu butuh memilih berbagai furnitur, ok? Ada yang butuh aku perbuat di perusahaan." Dirinya terkesan tidak senang, sebab aku telah berjanji bakal menemaninya melihat-lihat furnitur. Sesaat, pikiran untuk bercerai menjadi terus jelas mesikipun sebelumnya tampak mustahil. Bagaimanapun juga, bakal susah untuk mengatakannya pada istriku. Tidak peduli selembut apapun aku mengatakannya, dirinya bakal sangat terluka. Sejujurnya, dirinya adalah seorang istri yang baik. Setiap malam, dirinya rutin sibuk menyiapkan makan malam. Aku duduk di depan televisi. Makan malam bakal segera tersedia. Kemudian kami melihat TV bersama. Faktor ini sebelumnya adalah hiburan bagiku.
Suatu hari aku bertanya pada istriku dengan bercanda, "Kalau umpama kami bercerai, apa yang bakal kalian lakukan?" Dirinya menatapku berbagai saat tanpa mengatakan apapun. Kelihatannya dirinya seorang yang percaya bahwa perceraian tidak bakal datang padanya. Aku tidak dapat membayangkan bagaimana reaksinya ketika kelak dirinya tahu bahwa aku serius mengenai ini.
Ketika istriku datang ke kantorku, Jane langsung pegi keluar. Hampir semua pegawai melihat istriku dengan pandangan simpatik serta mencoba menyembunyikan apa yang sedang terjadi ketika berkata dengannya. Istriku seperti mendapat sedikit petunjuk. Dirinya tersenyum dengan lembut terhadap bawahan-bawahanku. Tapi aku melihat ada perasaan luka di matanya.
Sekali lagi, Jane mengatakan padaku, "Sayang, ceraikan dia, ok? Lalu kami bakal nasib bersama." Aku mengangguk. Aku tahu aku tidak dapat ragu-ragu lagi.
Ketika aku pulang malam itu, istriku sedang menyiapkan makan malam. Aku menggemgam tangannya serta berkata, "Ada yang ingin aku bicarakan." Dirinya kemudian duduk serta makan dalam diam. Lagi, aku melihat perasaan luka dari matanya.
Tiba-tiba aku tidak dapat membuka mulutku. Tapi aku wajib tetap mengatakan ini pada istriku. Aku ingin bercerai. Aku mengawali pembicaraan dengan tenang.
Dia seperti tidak terganggu dengan kata-kataku, sebaliknya malah bertanya dengan lembut, "Kenapa?"
Aku menghindari pertanyaannya. Faktor ini membuatnya marah. Dirinya melempar sumpit serta berteriak padaku, "Kamu bukan seorang pria!" Malam itu, kami tidak saling bicara. Dirinya menangis. Aku tahu, dirinya ingin mencari tahu apa yang sedang terjadi di dalam pernikahan kami. Tapi aku susah memberikannya jawaban yang memuaskan, bahwa hatiku telah memilih Jane. Aku tidak mencintainya lagi. Aku hanya mengasihaninya!
Dengan perasaan bersalah, aku membikin perjanjian perceraian yang menyebutkan bahwa istriku dapat mempunyai rumah kami, mobil kami serta 30% aset perusahaanku.
Dia melirik surat itu serta kemudian merobek-robeknya. Wanita yang telah menghabiskan 10 tahun hidupnya denganku telah menjadi seorang yang asing bagiku. Aku rugi sebab telah menyia-nyiakan waktu, daya serta tenaganya tapi aku tidak dapat luar biasa kembali apa yang telah aku katakan sebab aku sangat mencintai Jane. Akhirnya istriku menangis dengan keras di depanku, yang telah aku perkirakan sebelumnya. Bagiku, tangisannya adalah seperti pelepasan. Pikiran mengenai perceraian yang telah memenuhi diriku selagi berbagai minggu belakangan, kini menjadi tampak tegas serta jelas.
Hari berikutnya, aku pulang telat serta melihat istriku menulis sesuatu di meja makan. Aku tidak makan malam, tapi langsung tidur serta tertidur dengan cepat sebab telah seharian bersama Jane.
Ketika aku terbangun, istriku tetap disana, menulis. Aku tidak mempedulikannya serta langsung kembali tidur.
Paginya, dirinya menyerahkan syarat perceraiannya: Dirinya tidak mengharapkan apapun dariku, hanya mengharapkan perhatian selagi sebulan sebelum perceraian. Dirinya meminta dalam 1 bulan itu kami berdua wajib berusaha nasib sebiasa mungkin. Alasannya sederhana : Anak kami sedang menghadapi ujian dalam sebulan itu, serta dirinya tidak mau mengacaukan anak kami dengan perceraian kami.
Aku setuju saja dengan permintaannya. Tetapi dirinya meminta satu lagi, dirinya memintaku untuk meingat bagaimana menggendongnya ketika aku membawanya ke kamar pengantin, di hari pernikahan kami.
Dia memintanya selagi 1 bulan setiap hari, aku menggendongnya keluar dari kamar kami, ke pintu depan setiap pagi. Aku pikir dirinya gila. Aku menerima permintaannya yang aneh sebab hanya ingin membikin hari-hari terbaru kebersamaan kami lebih mudah diterima olehnya.
Aku memberi tahu Jane mengenai syarat perceraian dari istriku. Dirinya tertawa keras serta berpikir bahwa faktor itu berlebihan. "Trik apapun yang dirinya gunakan, dirinya wajib tetap menghadapi perceraian!", kata Jane, dengan nada menghina.
Istriku serta aku telah lama tidak melakukan kontak fisik sejak keinginan untuk bercerai mulai terpikirkan olehku. Jadi, ketika aku menggendongnya di hari pertama, kami berdua tampak canggung. Anak kami tepuk tangan di belakang kami. Katanya, "Papa menggendong mama!" Kata-katanya membikin ku merasa terluka. Dari kamar ke ruang tamu, lalu ke pintu depan, aku berlangsung sejauh 10 meter, dengan dirinya dipelukanku. Dirinya menutup mata serta berbisik padaku, "Jangan bilang anak kami mengenai perceraian ini." Aku mengangguk, merasa sedih. Aku menurunkannya di depan pintu. Dirinya berangkat untuk menantikan bus untuk bekerja. Aku sendiri naik mobil ke kantor.
Hari kedua, kami berdua lebih mudah bertindak. Dirinya bersandar di dadaku. Aku dapat mencium wangi dari pakaiannya. Aku tersadar, telah lama aku tidak sungguh-sungguh memperhatikan wanita ini. Aku sadar dirinya telah tidak muda lagi, ada garis halus di wajahnya, rambutnya memutih. Pernikahan kami telah membuatnya susah. Sesaat aku terheran, apa yang telah aku perbuat padanya.
Hari keempat, ketika aku menggendongnya, aku merasa rasa kedekatan seperti kembali lagi. Wanita ini adalah seorang yang telah memberikan 10 tahun kehidupannya padaku.
Hari kelima serta keenam, aku sadar rasa kedekatan kami terus bertumbuh. Aku tidak mengatakan ini pada Jane. Seiring berjalannya waktu terus mudah menggendongnya. Mungkin sebab aku rajin berolahraga membuatku terus kuat.
Satu pagi, istriku sedang memilih pakaian yang dirinya ingin kenakan. Dirinya mencoba beberpa pakaian tapi tidak menemukan yang pas. Kemudian dirinya menghela nafas, "Pakaianku semua sehingga besar." Tiba-tiba aku terbangun bahwa dirinya telah menjadi sangat kurus. Ini lah argumen aku dapat menggendongnya dengan mudah.
Tiba-tiba aku terpukul. Dirinya telah memendam rasa sakit serta kepahitan yang luar biasa di hatinya. Tanpa sadar aku menyentuh kepalanya.
Anak kami datang saat itu serta berkata, "Pa, telah waktunya menggendong mami keluar." Bagi anak kami, melihat ayahnya menggendong ibunya keluar telah menjadi pengertian penting dalam hidupnya. Istriku melambai pada anakku untuk mendekat serta memeluknya erat. Aku mengalihkan wajahku sebab takut aku bakal berubah pikiran pada saat terakhir. Kemudian aku menggendong istriku, jalan dari kamar, ke ruang tamu, ke pintu depan. Tangannya melingkar di leherku dengan lembut. Aku menggendongnya dengan erat, seperti ketika hari pernikahan kami.
Tapi berat badannya yang ringan membuatku sedih. Pada hari terakhir, ketika aku menggendongnya, susah sekali bagiku untuk bergerak. Anak kami telah berangkat ke sekolah. Aku menggendongnya dengan erat serta berkata, "Aku tidak memperhatikan kalau selagi ini kami tidak lebih kedekatan."
Aku berangkat ke kantor, keluar cepat dari mobil tanpa mengunci pintunya. Aku takut, penundaan apapun bakal merubah pikiranku. Aku jalan keatas, Jane membuka pintu serta aku mengatakan padanya, "Maaf, Jane, aku tidak mau perceraian."
Dia menatapku, dengan heran menyentuh keningku. "Kamu demam?", tanyanya. Aku menyingkirkan tangannya dari kepalaku. "Maaf, Jane, aku bilang, aku tidak bakal bercerai." Kehidupan pernikahanku selagi ini membosankan mungkin sebab aku serta istriku tidak menilai segala detail kehidupan kami, bukan sebab kami tidak saling mencintai. Kini aku sadar, sejak aku menggendongnya ke rumahku di hari pernikahan kami, aku wajib terus menggendongnya hingga maut memisahkan kami.
Jane seperti tiba-tiba tersadar. Dirinya menamparku keras kemudian membanting pintu serta lari sambil menangis. Aku turun serta berangkat keluar.
Di toko bunga, ketika aku berkendara pulang, aku memesan satu buket bunga untuk istriku. Penjual menanyakan padaku apa yang ingin aku tulis di kartunya. Aku tersenyum serta menulis, aku bakal menggendongmu setiap pagi hingga maut memisahkan kita.
Sore itu, aku hingga rumah, dengan bunga di tanganku, senyum di wajahku, aku berlari ke kamar atas, hanya untuk menemukan istriku terbaring di tempat tidur - meninggal. Istriku telah melawan kanker selagi berbulan-bulan serta aku terlalu sibuk dengan Jane hingga tidak memperhatikannya. Dirinya tahu dirinya bakal segera meninggal, serta dirinya ingin menyelamatku dari reaksi negatif apapun dari anak kami, seandainya kami sehingga bercerai. -- Setidaknya, di mata anak kami --- aku adalah suami yang penyayang.
Hal-hal kecil di dalam kehidupanmu adalah yang terpenting dalam sebuah hubungan. Bukan rumah besar, mobil, properti alias uang di bank. Semua ini menunjang kebahagian tapi tidak dapat memberikan kebahagian itu sendiri. Jadi, carilah waktu untuk menjadi kawan bagi pasanganmu, serta perbuat hal-hal yang kecil bersama-sama untuk membangun kedekatan itu. Miliki pernikahan yang sungguh-sungguh serta bahagia.
Kalau kalian tidak bagikan ini, tidak bakal terjadi apa-apa padamu.
Kalau share, mungkin kalian menyelamatkan satu pernikahan.
Banyaknya kegagalan dalam kehidupan sebab orang tidak sadar alangkah dekat mereka dengan kesuksesan ketika mereka telah menyerah.
pengantin berhenti di depan apartment kami. Teman-teman memaksaku menggendong istriku keluar dari mobil. Lalu aku menggendongnya ke rumah kami. Dirinya tersipu malu-malu. Saat itu, aku adalah seorang pengantin pria yang kuat serta bahagia.
Baca Juga : Ini Dia 12 Kriteria Pakaian Muslimah
Ini adalah kejadian 10 tahun yang lalu.
Hari-hari berikutnya berlangsung biasa. Kami mempunyai seorang anak, aku bekerja sebagai pengusaha serta berusaha menghasilkan uang lebih. Ketika aset-aset perusahaan meningkat, kasih sayang diantara aku serta istriku seperti mulai menurun.
Baca Juga :Aktor Kawakan Didi Petet Meninggal Dunia
Istriku seorang pegawai pemerintah. Setiap pagi kami berangkat bersama serta pulang hampir di waktu yang bersamaan. Anak kami bersekolah di sekolah asrama. Kehidupan pernikahan kami terkesan sangat bahagia, tetapi kehidupan yang tenang sepertinya lebih mudah terpengaruh oleh perubahan-perubahan yang tidak terduga.
Lalu Jane datang ke dalam kehidupanku.
Hari itu hari yang cerah. Aku berdiri di balkon yang luas. Jane memelukku dari belakang. Sekali lagi hatiku seperti terbenam di dalam cintanya. Apartment ini aku belikan untuknya. Lalu Jane berkata, "Kau adalah laki-laki yang pandai memikat wanita." Kata-katanya tiba-tiba mengingatkan ku pada istriku. Ketika kami baru menikah, istriku mengatakan "Laki-laki sepertimu, ketika berhasil nanti, bakal memikat tidak sedikit wanita." Memikirkan faktor ini, aku menjadi ragu-ragu. Aku tahu, aku telah mengkhianati istriku.
Aku menyampingkan tangan Jane serta berkata, "Kamu butuh memilih berbagai furnitur, ok? Ada yang butuh aku perbuat di perusahaan." Dirinya terkesan tidak senang, sebab aku telah berjanji bakal menemaninya melihat-lihat furnitur. Sesaat, pikiran untuk bercerai menjadi terus jelas mesikipun sebelumnya tampak mustahil. Bagaimanapun juga, bakal susah untuk mengatakannya pada istriku. Tidak peduli selembut apapun aku mengatakannya, dirinya bakal sangat terluka. Sejujurnya, dirinya adalah seorang istri yang baik. Setiap malam, dirinya rutin sibuk menyiapkan makan malam. Aku duduk di depan televisi. Makan malam bakal segera tersedia. Kemudian kami melihat TV bersama. Faktor ini sebelumnya adalah hiburan bagiku.
Suatu hari aku bertanya pada istriku dengan bercanda, "Kalau umpama kami bercerai, apa yang bakal kalian lakukan?" Dirinya menatapku berbagai saat tanpa mengatakan apapun. Kelihatannya dirinya seorang yang percaya bahwa perceraian tidak bakal datang padanya. Aku tidak dapat membayangkan bagaimana reaksinya ketika kelak dirinya tahu bahwa aku serius mengenai ini.
Ketika istriku datang ke kantorku, Jane langsung pegi keluar. Hampir semua pegawai melihat istriku dengan pandangan simpatik serta mencoba menyembunyikan apa yang sedang terjadi ketika berkata dengannya. Istriku seperti mendapat sedikit petunjuk. Dirinya tersenyum dengan lembut terhadap bawahan-bawahanku. Tapi aku melihat ada perasaan luka di matanya.
Sekali lagi, Jane mengatakan padaku, "Sayang, ceraikan dia, ok? Lalu kami bakal nasib bersama." Aku mengangguk. Aku tahu aku tidak dapat ragu-ragu lagi.
Ketika aku pulang malam itu, istriku sedang menyiapkan makan malam. Aku menggemgam tangannya serta berkata, "Ada yang ingin aku bicarakan." Dirinya kemudian duduk serta makan dalam diam. Lagi, aku melihat perasaan luka dari matanya.
Tiba-tiba aku tidak dapat membuka mulutku. Tapi aku wajib tetap mengatakan ini pada istriku. Aku ingin bercerai. Aku mengawali pembicaraan dengan tenang.
Dia seperti tidak terganggu dengan kata-kataku, sebaliknya malah bertanya dengan lembut, "Kenapa?"
Aku menghindari pertanyaannya. Faktor ini membuatnya marah. Dirinya melempar sumpit serta berteriak padaku, "Kamu bukan seorang pria!" Malam itu, kami tidak saling bicara. Dirinya menangis. Aku tahu, dirinya ingin mencari tahu apa yang sedang terjadi di dalam pernikahan kami. Tapi aku susah memberikannya jawaban yang memuaskan, bahwa hatiku telah memilih Jane. Aku tidak mencintainya lagi. Aku hanya mengasihaninya!
Dengan perasaan bersalah, aku membikin perjanjian perceraian yang menyebutkan bahwa istriku dapat mempunyai rumah kami, mobil kami serta 30% aset perusahaanku.
Dia melirik surat itu serta kemudian merobek-robeknya. Wanita yang telah menghabiskan 10 tahun hidupnya denganku telah menjadi seorang yang asing bagiku. Aku rugi sebab telah menyia-nyiakan waktu, daya serta tenaganya tapi aku tidak dapat luar biasa kembali apa yang telah aku katakan sebab aku sangat mencintai Jane. Akhirnya istriku menangis dengan keras di depanku, yang telah aku perkirakan sebelumnya. Bagiku, tangisannya adalah seperti pelepasan. Pikiran mengenai perceraian yang telah memenuhi diriku selagi berbagai minggu belakangan, kini menjadi tampak tegas serta jelas.
Hari berikutnya, aku pulang telat serta melihat istriku menulis sesuatu di meja makan. Aku tidak makan malam, tapi langsung tidur serta tertidur dengan cepat sebab telah seharian bersama Jane.
Ketika aku terbangun, istriku tetap disana, menulis. Aku tidak mempedulikannya serta langsung kembali tidur.
Paginya, dirinya menyerahkan syarat perceraiannya: Dirinya tidak mengharapkan apapun dariku, hanya mengharapkan perhatian selagi sebulan sebelum perceraian. Dirinya meminta dalam 1 bulan itu kami berdua wajib berusaha nasib sebiasa mungkin. Alasannya sederhana : Anak kami sedang menghadapi ujian dalam sebulan itu, serta dirinya tidak mau mengacaukan anak kami dengan perceraian kami.
Aku setuju saja dengan permintaannya. Tetapi dirinya meminta satu lagi, dirinya memintaku untuk meingat bagaimana menggendongnya ketika aku membawanya ke kamar pengantin, di hari pernikahan kami.
Dia memintanya selagi 1 bulan setiap hari, aku menggendongnya keluar dari kamar kami, ke pintu depan setiap pagi. Aku pikir dirinya gila. Aku menerima permintaannya yang aneh sebab hanya ingin membikin hari-hari terbaru kebersamaan kami lebih mudah diterima olehnya.
Aku memberi tahu Jane mengenai syarat perceraian dari istriku. Dirinya tertawa keras serta berpikir bahwa faktor itu berlebihan. "Trik apapun yang dirinya gunakan, dirinya wajib tetap menghadapi perceraian!", kata Jane, dengan nada menghina.
Istriku serta aku telah lama tidak melakukan kontak fisik sejak keinginan untuk bercerai mulai terpikirkan olehku. Jadi, ketika aku menggendongnya di hari pertama, kami berdua tampak canggung. Anak kami tepuk tangan di belakang kami. Katanya, "Papa menggendong mama!" Kata-katanya membikin ku merasa terluka. Dari kamar ke ruang tamu, lalu ke pintu depan, aku berlangsung sejauh 10 meter, dengan dirinya dipelukanku. Dirinya menutup mata serta berbisik padaku, "Jangan bilang anak kami mengenai perceraian ini." Aku mengangguk, merasa sedih. Aku menurunkannya di depan pintu. Dirinya berangkat untuk menantikan bus untuk bekerja. Aku sendiri naik mobil ke kantor.
Hari kedua, kami berdua lebih mudah bertindak. Dirinya bersandar di dadaku. Aku dapat mencium wangi dari pakaiannya. Aku tersadar, telah lama aku tidak sungguh-sungguh memperhatikan wanita ini. Aku sadar dirinya telah tidak muda lagi, ada garis halus di wajahnya, rambutnya memutih. Pernikahan kami telah membuatnya susah. Sesaat aku terheran, apa yang telah aku perbuat padanya.
Hari keempat, ketika aku menggendongnya, aku merasa rasa kedekatan seperti kembali lagi. Wanita ini adalah seorang yang telah memberikan 10 tahun kehidupannya padaku.
Hari kelima serta keenam, aku sadar rasa kedekatan kami terus bertumbuh. Aku tidak mengatakan ini pada Jane. Seiring berjalannya waktu terus mudah menggendongnya. Mungkin sebab aku rajin berolahraga membuatku terus kuat.
Satu pagi, istriku sedang memilih pakaian yang dirinya ingin kenakan. Dirinya mencoba beberpa pakaian tapi tidak menemukan yang pas. Kemudian dirinya menghela nafas, "Pakaianku semua sehingga besar." Tiba-tiba aku terbangun bahwa dirinya telah menjadi sangat kurus. Ini lah argumen aku dapat menggendongnya dengan mudah.
Tiba-tiba aku terpukul. Dirinya telah memendam rasa sakit serta kepahitan yang luar biasa di hatinya. Tanpa sadar aku menyentuh kepalanya.
Anak kami datang saat itu serta berkata, "Pa, telah waktunya menggendong mami keluar." Bagi anak kami, melihat ayahnya menggendong ibunya keluar telah menjadi pengertian penting dalam hidupnya. Istriku melambai pada anakku untuk mendekat serta memeluknya erat. Aku mengalihkan wajahku sebab takut aku bakal berubah pikiran pada saat terakhir. Kemudian aku menggendong istriku, jalan dari kamar, ke ruang tamu, ke pintu depan. Tangannya melingkar di leherku dengan lembut. Aku menggendongnya dengan erat, seperti ketika hari pernikahan kami.
Tapi berat badannya yang ringan membuatku sedih. Pada hari terakhir, ketika aku menggendongnya, susah sekali bagiku untuk bergerak. Anak kami telah berangkat ke sekolah. Aku menggendongnya dengan erat serta berkata, "Aku tidak memperhatikan kalau selagi ini kami tidak lebih kedekatan."
Aku berangkat ke kantor, keluar cepat dari mobil tanpa mengunci pintunya. Aku takut, penundaan apapun bakal merubah pikiranku. Aku jalan keatas, Jane membuka pintu serta aku mengatakan padanya, "Maaf, Jane, aku tidak mau perceraian."
Dia menatapku, dengan heran menyentuh keningku. "Kamu demam?", tanyanya. Aku menyingkirkan tangannya dari kepalaku. "Maaf, Jane, aku bilang, aku tidak bakal bercerai." Kehidupan pernikahanku selagi ini membosankan mungkin sebab aku serta istriku tidak menilai segala detail kehidupan kami, bukan sebab kami tidak saling mencintai. Kini aku sadar, sejak aku menggendongnya ke rumahku di hari pernikahan kami, aku wajib terus menggendongnya hingga maut memisahkan kami.
Jane seperti tiba-tiba tersadar. Dirinya menamparku keras kemudian membanting pintu serta lari sambil menangis. Aku turun serta berangkat keluar.
Di toko bunga, ketika aku berkendara pulang, aku memesan satu buket bunga untuk istriku. Penjual menanyakan padaku apa yang ingin aku tulis di kartunya. Aku tersenyum serta menulis, aku bakal menggendongmu setiap pagi hingga maut memisahkan kita.
Sore itu, aku hingga rumah, dengan bunga di tanganku, senyum di wajahku, aku berlari ke kamar atas, hanya untuk menemukan istriku terbaring di tempat tidur - meninggal. Istriku telah melawan kanker selagi berbulan-bulan serta aku terlalu sibuk dengan Jane hingga tidak memperhatikannya. Dirinya tahu dirinya bakal segera meninggal, serta dirinya ingin menyelamatku dari reaksi negatif apapun dari anak kami, seandainya kami sehingga bercerai. -- Setidaknya, di mata anak kami --- aku adalah suami yang penyayang.
Hal-hal kecil di dalam kehidupanmu adalah yang terpenting dalam sebuah hubungan. Bukan rumah besar, mobil, properti alias uang di bank. Semua ini menunjang kebahagian tapi tidak dapat memberikan kebahagian itu sendiri. Jadi, carilah waktu untuk menjadi kawan bagi pasanganmu, serta perbuat hal-hal yang kecil bersama-sama untuk membangun kedekatan itu. Miliki pernikahan yang sungguh-sungguh serta bahagia.
Kalau kalian tidak bagikan ini, tidak bakal terjadi apa-apa padamu.
Kalau share, mungkin kalian menyelamatkan satu pernikahan.
Banyaknya kegagalan dalam kehidupan sebab orang tidak sadar alangkah dekat mereka dengan kesuksesan ketika mereka telah menyerah.