Tausiah Islam - SEORANG laki-laki datang menghadap Umar bin Khaththab radhiyallahu 'anhu. Ia bermaksud melaporkan anaknya yang telah berbuat durhaka kepadanya serta melupakan hak-hak orangtua. Kemudian Umar mendatangkan anak tersebut serta mengumumkan pengaduan bapaknya.
Anak itu mengatakan mantap, “Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya ayahku belum sempat melakukan satu pun di antara semua hak itu. Ibuku merupakan seorang bangsa Ethiopia dari keturunan yang beragama Majusi. Mereka menamakan aku Ju’al (kumbang kelapa), serta ayahku belum sempat mengajarkan satu huruf pun dari al-Kitab (al-Qur’an). “Umar menoleh terhadap laki-laki itu, serta mengatakan tegas, “Engkau telah datang kepadaku melaporkan kedurhakaan anakmu. Padahal, engkau telah mendurhakainya sebelum dirinya mendurhakaimu.
Engkau pun tidak berbuat baik kepadanya sebelum dirinya berbuat kurang baik kepadamu.”
Kata-kata Umar bin Khaththab radhiyallahu 'anhu ini mengingatkan terhadap kami -para bapak- untuk tidak sedikit bercermin. Sebelum kami mengeluhkan anak-anak kita, selayaknya kami bertanya apakah telah memenuhi hak-hak mereka. Jangan-jangan kami marah terhadap mereka, padahal kitalah yang sesungguhnya berbuat durhaka terhadap anak kita. Jangan-jangan kami mengeluhkan kenakalan mereka, padahal kitalah yang tidak lebih mempunyai kelapangan jiwa dalam mendidik serta membesarkan mereka.
Kita tidak jarang berkata kenakalan anak, tapi lupa mengecek apakah sebagai orangtua kami tidak melakukan kenakalan yang lebih besar. Kami tidak jarang bertanya bagaimana menghadapi anak, mendiamkan mereka saat berisik serta membikin mereka menuruti apa pun yang kami inginkan, meskipun kami menyebutnya dengan kata taat. Namun sebagai orangtua, kami tidak jarang lupa bertanya apakah kami telah mempunyai lumayan kelayakan untuk ditaati. Kami ingin mereka mengerti keinginan orangtua, tapi tanpa mau berusaha memahami pikiran anak, kehendak anak serta jiwa anak.
Pendidikan yang kami jalankan pada mereka hanyalah untuk memuaskan diri kita, alias sekedar membebaskan kami dari kesumpekan lantaran dari awal telah merasa repot dengan keberadaan mereka. Bahkan, ada orangtua yang telah merasa demikian repotnya menghadapi anak, ketika anak itu sendiri belum lahir.
Teringatlah saya ketika sebuah hari pergi bersama istri serta anak saya. Muhammad Nashiruddin An-Nadwi, anak saya yang keempat, tetap bayi waktu itu serta sedang lucu-lucunya (sekarang pun dirinya tetap sangat lucu serta menggemaskan) . Sembari menantikan bagasi, seorang bunda yang modis bertanya terhadap istri saya, “Anak pertama, Bu?”. “Bukan,” jawab istri saya, “Ada kakaknya, cuma nggak ikut.” “Ou. Memangnya, berapa anaknya, Bu?” tanya bunda itu segera. “Baru empat. Ini anak yang keempat,” jawab saya ikut menimpali. “Empat???” tanya bunda itu dengan mata terbelalak. Tampaknya ia kaget sekaligus heran. Kemudian dirinya segera mengajukan pertanyaan berikutnya, “Yang terbesar telah kelas berapa?”. “TK A. Nol kecil,” jawab istri saya.
Ibu itu tampak sangat kaget. Begitu kagetnya, jadi nyaris berteriak, “Ya, ampun.. Empat! Apa nggak repot itu? Saya punya anak satu saja rasanya telah repot sekali. Ribut. Nggak mau diatur. Apalagi kalau empat. Nggak terbayang, deh. Bisa-bisa mati berdiri saya.”.
Ungkapan spontan bunda ini merupakan cermin kita, cermin yang menggambarkan alangkah tidak sedikit orang yang menjadi orangtua semata-mata sebab dirinya punya anak.Bukan angan-angan mengenai kematangan jiwa alias nilai kasih sayang. Anak hadir dalam kehidupan mereka semata-mata sebagai resiko menikah, jadi sinar mata anak-anak yang tetap jernih tanpa dosa tidak sanggup membikin orangtuanya terhibur.
Terkadang orangtua telah lama merindukan anak. Namun ia mempunyai angan-angan sendiri mengenai anak seperti apa yang wajib lahir melewati rahimnya, jadi ia kehilangan perasaan yang tulus saat Allah sangatlah mengaruniakan anak.Terlebih ketika yang lahir, tidak sesuai harapan. Orangtua yang telah terlalu panjang angan-angannya, bisa
melakukan penolakan psikis terhadap anak kandungnya sendiri. Alias memperlakukan anak itu supaya sesuai dengan harapannya. Inginnya anak perempuan, yang lahir laki-laki. Jadi anak itupun diperlakukan seperti perempuan, jadi ia berkembang sebagai bencong. Alias sebaliknya, anak itu menjadi bulan-bulanan kekesalan orangtua, bahkan ketika anaknya telah mempunyai anak. Ketika anaknya telah menjadi orangtua.
Kejadian seperti ini selain sekali terjadi di dunia. Sebab yang lahir tidak sesuai harapan, kadang anak akhirnya menjadi tempat menimpakan kesalahan. Apapun yang terjadi, anak inilah yang menjadi kambing hitam.
Setiap ada yang salah, anak inilah yang wajib ikut menanggung kesalahan. Alias bahkan dirinya yang wajib memikul seluruh kesalahan, meskipun bukan dirinya penyebabnya. Terkadang bentuknya tidak hingga seburuk itu, namun akibatnya tetap saja buruk. Anak merasa tertolak. Ia tidak kerasan di rumah, meskipun rumahnya memperkenalkan kemegahan serta kesempurnaan fasilitas. Ia merasa seperti tamu asing di rumahnya sendiri.
Saya teringat dengan cerita seorang kawan yang mengurusi anak-anak jalanan. Sebuah ketika ia menemukan seorang anak yang babak belur mukanya dihajar sesama anak jalanan sebab berebut lahan di sebuah stasiun.
Wajahnya telah nyaris tidak berbentuk. Anak ini kemudian ia selamatkan. Ia rawat dengan baik serta penuh kasih-sayang. Seusai kondisi fisiknya pulih serta emosinya pun telah lumayan baik, ia tawarkan terhadap anak itu dua pilihan; dipulangkan ke rumah orangtua alias dikirim ke sebuah lembaga pendidikan. Seperti anak-anak lain di muka bumi, rutin ada perasaan rindu pada orangtua. Jadi ia mengajukan opsi dipulangkan ke rumah orangtua.
Staf dari kawan saya ini kemudian pergi mendampingi pulang ke sebuah kota di Jawa Tengah. Nyaris tidak percaya, orangtua anak itu nyatanya mempunyai kedudukan yang lumayan terhormat. Bapaknya seorang jaksa serta ibunya seorang kepala sekolah sebuah SMP. Rumahnya? Jangan tanya. Mereka sangat kaya.
Cuma satu yang mereka tidak punya: perasaan. Menonton anaknya yang telah dua tahun meninggalkan rumah, tidak ada airmata haru yang menyambutnya. Justru perkataan yang sangat tidak bersahabat, “Ngapain kalian pulang?”. Menonton sambutan yang sangat tidak akrab ini, staf kawan saya segera mengundang anak itu kembali ke Jogja.
Tak ada airmata yang melepas. Tidak ada rasa kehilangan dari orangtua saat anak itu kembali meninggalkan rumah.Yang ada hanyalah perasaan yang remuk pada diri anak. Di saat ia ingin dididik oleh orangtua yang menjadi pendidik di SMP, yang ia dapatkan justru sikap sangat kasar. Sangatlah perlakuan yang sangat kasar, menyakitkan serta menghancurkan perasaan.
Jangankan anak yang tetap usia SD itu, pengantarnya yang telah dewasa pun merasakannya sebagai penghinaan luar biasa. Penghinaan tanpa perasaan, tanpa nurani serta tanpa kekhawatiran bakal beratnya tanggung-jawab di yaumil-akhir. Sebab itu, tidak ada opsi yang lebih baik kecuali menyingkirkan si anak dari orangtuanya yang durhaka.
Kisah anak jalanan ini hanyalah satu di antara sekian tidak sedikit kedurhakaan orangtua pada anak. Tidak sedikit anak jalanan yang lari dari rumah serta lebih memilih kolong jembatan sebagai tempat tinggal, padahal orangtuanya mempunyai kedudukan yang sangat tinggi serta kekayaan yang besar. Seorang anak jalanan yang telah direhabilitasi, orangtuanya nyatanya anak buah dewan sebuah daerah.
Apa yang terjadi sesungguhnya? Tidak sedikit hal, namun semuanya bermuara pada hilangnya kesadaran bahwa anak-anak itu selain butuh dibesarkan, namun wajib kami pertanggungjawabkan ke hadapan Allah Ta’ala. Hilangnya kesabaran menghadapi anak, kadang sebab kami lupa bahwa di antara keutamaan menikah merupakan menjadikannya sebagai sebab untuk mendapatkan keturunan (tasabbub). Kami membatasi berapa anak yang wajib kami lahirkan demi argumen kesejahteraan serta kemakmuran, sembari tanpa sadar kami melemahkan kesabaran serta kegembiraan kami menghadapi anak-anak.
Dulu, sebagian orangtua kami bekerja sambil memikirkan hidup anak-anak nanti seusai ia mati: tetap samakah imannya? Kini tidak sedikit orangtua mendekap anaknya, namun pikirannya diliputi kecemasan jangan-jangan satu kesempatan karier terlepas dampak kesibukan mengurusi anak.
Dulu orangtua meratakan keningnya untuk mendo’akan anak. Kini tidak sedikit orangtua meminta anak berdo’a untuk kesuksesan karier orangtuanya.*
Mohammad Fauzil Adhim merupakan penulis kolom Parenting Majalah Hidayatullah. Beberapa tulisan lain bisa dibaca di majalah Hidayatullah. twitter: @kupinang
Baca Juga :Mengubah Nasib: Dari Karyawan Menjadi Juragan
Mendurhakai Anak
Anak itu bertanya terhadap Umar bin Khaththab radhiyallahu 'anhu, “Wahai Amirul Mukminin, bukankah anak pun mempunyai hak-hak dari bapaknya?” . “Ya, tentu,” jawab Umar tegas. Anak itu bertanya lagi, “Apakah hak-hak anak itu, wahai Amirul Mukminin?”. “Memilihkan ibunya, memberikan nama yang baik, serta mengajarkan al-Qur’an kepadanya,” jawab Umar menunjukkan.Baca Juga :KONSEP JIHAD DALAM ISLAM
Anak itu mengatakan mantap, “Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya ayahku belum sempat melakukan satu pun di antara semua hak itu. Ibuku merupakan seorang bangsa Ethiopia dari keturunan yang beragama Majusi. Mereka menamakan aku Ju’al (kumbang kelapa), serta ayahku belum sempat mengajarkan satu huruf pun dari al-Kitab (al-Qur’an). “Umar menoleh terhadap laki-laki itu, serta mengatakan tegas, “Engkau telah datang kepadaku melaporkan kedurhakaan anakmu. Padahal, engkau telah mendurhakainya sebelum dirinya mendurhakaimu.
Engkau pun tidak berbuat baik kepadanya sebelum dirinya berbuat kurang baik kepadamu.”
Kata-kata Umar bin Khaththab radhiyallahu 'anhu ini mengingatkan terhadap kami -para bapak- untuk tidak sedikit bercermin. Sebelum kami mengeluhkan anak-anak kita, selayaknya kami bertanya apakah telah memenuhi hak-hak mereka. Jangan-jangan kami marah terhadap mereka, padahal kitalah yang sesungguhnya berbuat durhaka terhadap anak kita. Jangan-jangan kami mengeluhkan kenakalan mereka, padahal kitalah yang tidak lebih mempunyai kelapangan jiwa dalam mendidik serta membesarkan mereka.
Kita tidak jarang berkata kenakalan anak, tapi lupa mengecek apakah sebagai orangtua kami tidak melakukan kenakalan yang lebih besar. Kami tidak jarang bertanya bagaimana menghadapi anak, mendiamkan mereka saat berisik serta membikin mereka menuruti apa pun yang kami inginkan, meskipun kami menyebutnya dengan kata taat. Namun sebagai orangtua, kami tidak jarang lupa bertanya apakah kami telah mempunyai lumayan kelayakan untuk ditaati. Kami ingin mereka mengerti keinginan orangtua, tapi tanpa mau berusaha memahami pikiran anak, kehendak anak serta jiwa anak.
Pendidikan yang kami jalankan pada mereka hanyalah untuk memuaskan diri kita, alias sekedar membebaskan kami dari kesumpekan lantaran dari awal telah merasa repot dengan keberadaan mereka. Bahkan, ada orangtua yang telah merasa demikian repotnya menghadapi anak, ketika anak itu sendiri belum lahir.
Teringatlah saya ketika sebuah hari pergi bersama istri serta anak saya. Muhammad Nashiruddin An-Nadwi, anak saya yang keempat, tetap bayi waktu itu serta sedang lucu-lucunya (sekarang pun dirinya tetap sangat lucu serta menggemaskan) . Sembari menantikan bagasi, seorang bunda yang modis bertanya terhadap istri saya, “Anak pertama, Bu?”. “Bukan,” jawab istri saya, “Ada kakaknya, cuma nggak ikut.” “Ou. Memangnya, berapa anaknya, Bu?” tanya bunda itu segera. “Baru empat. Ini anak yang keempat,” jawab saya ikut menimpali. “Empat???” tanya bunda itu dengan mata terbelalak. Tampaknya ia kaget sekaligus heran. Kemudian dirinya segera mengajukan pertanyaan berikutnya, “Yang terbesar telah kelas berapa?”. “TK A. Nol kecil,” jawab istri saya.
Ibu itu tampak sangat kaget. Begitu kagetnya, jadi nyaris berteriak, “Ya, ampun.. Empat! Apa nggak repot itu? Saya punya anak satu saja rasanya telah repot sekali. Ribut. Nggak mau diatur. Apalagi kalau empat. Nggak terbayang, deh. Bisa-bisa mati berdiri saya.”.
Ungkapan spontan bunda ini merupakan cermin kita, cermin yang menggambarkan alangkah tidak sedikit orang yang menjadi orangtua semata-mata sebab dirinya punya anak.Bukan angan-angan mengenai kematangan jiwa alias nilai kasih sayang. Anak hadir dalam kehidupan mereka semata-mata sebagai resiko menikah, jadi sinar mata anak-anak yang tetap jernih tanpa dosa tidak sanggup membikin orangtuanya terhibur.
Terkadang orangtua telah lama merindukan anak. Namun ia mempunyai angan-angan sendiri mengenai anak seperti apa yang wajib lahir melewati rahimnya, jadi ia kehilangan perasaan yang tulus saat Allah sangatlah mengaruniakan anak.Terlebih ketika yang lahir, tidak sesuai harapan. Orangtua yang telah terlalu panjang angan-angannya, bisa
melakukan penolakan psikis terhadap anak kandungnya sendiri. Alias memperlakukan anak itu supaya sesuai dengan harapannya. Inginnya anak perempuan, yang lahir laki-laki. Jadi anak itupun diperlakukan seperti perempuan, jadi ia berkembang sebagai bencong. Alias sebaliknya, anak itu menjadi bulan-bulanan kekesalan orangtua, bahkan ketika anaknya telah mempunyai anak. Ketika anaknya telah menjadi orangtua.
Kejadian seperti ini selain sekali terjadi di dunia. Sebab yang lahir tidak sesuai harapan, kadang anak akhirnya menjadi tempat menimpakan kesalahan. Apapun yang terjadi, anak inilah yang menjadi kambing hitam.
Setiap ada yang salah, anak inilah yang wajib ikut menanggung kesalahan. Alias bahkan dirinya yang wajib memikul seluruh kesalahan, meskipun bukan dirinya penyebabnya. Terkadang bentuknya tidak hingga seburuk itu, namun akibatnya tetap saja buruk. Anak merasa tertolak. Ia tidak kerasan di rumah, meskipun rumahnya memperkenalkan kemegahan serta kesempurnaan fasilitas. Ia merasa seperti tamu asing di rumahnya sendiri.
Saya teringat dengan cerita seorang kawan yang mengurusi anak-anak jalanan. Sebuah ketika ia menemukan seorang anak yang babak belur mukanya dihajar sesama anak jalanan sebab berebut lahan di sebuah stasiun.
Wajahnya telah nyaris tidak berbentuk. Anak ini kemudian ia selamatkan. Ia rawat dengan baik serta penuh kasih-sayang. Seusai kondisi fisiknya pulih serta emosinya pun telah lumayan baik, ia tawarkan terhadap anak itu dua pilihan; dipulangkan ke rumah orangtua alias dikirim ke sebuah lembaga pendidikan. Seperti anak-anak lain di muka bumi, rutin ada perasaan rindu pada orangtua. Jadi ia mengajukan opsi dipulangkan ke rumah orangtua.
Staf dari kawan saya ini kemudian pergi mendampingi pulang ke sebuah kota di Jawa Tengah. Nyaris tidak percaya, orangtua anak itu nyatanya mempunyai kedudukan yang lumayan terhormat. Bapaknya seorang jaksa serta ibunya seorang kepala sekolah sebuah SMP. Rumahnya? Jangan tanya. Mereka sangat kaya.
Cuma satu yang mereka tidak punya: perasaan. Menonton anaknya yang telah dua tahun meninggalkan rumah, tidak ada airmata haru yang menyambutnya. Justru perkataan yang sangat tidak bersahabat, “Ngapain kalian pulang?”. Menonton sambutan yang sangat tidak akrab ini, staf kawan saya segera mengundang anak itu kembali ke Jogja.
Tak ada airmata yang melepas. Tidak ada rasa kehilangan dari orangtua saat anak itu kembali meninggalkan rumah.Yang ada hanyalah perasaan yang remuk pada diri anak. Di saat ia ingin dididik oleh orangtua yang menjadi pendidik di SMP, yang ia dapatkan justru sikap sangat kasar. Sangatlah perlakuan yang sangat kasar, menyakitkan serta menghancurkan perasaan.
Jangankan anak yang tetap usia SD itu, pengantarnya yang telah dewasa pun merasakannya sebagai penghinaan luar biasa. Penghinaan tanpa perasaan, tanpa nurani serta tanpa kekhawatiran bakal beratnya tanggung-jawab di yaumil-akhir. Sebab itu, tidak ada opsi yang lebih baik kecuali menyingkirkan si anak dari orangtuanya yang durhaka.
Kisah anak jalanan ini hanyalah satu di antara sekian tidak sedikit kedurhakaan orangtua pada anak. Tidak sedikit anak jalanan yang lari dari rumah serta lebih memilih kolong jembatan sebagai tempat tinggal, padahal orangtuanya mempunyai kedudukan yang sangat tinggi serta kekayaan yang besar. Seorang anak jalanan yang telah direhabilitasi, orangtuanya nyatanya anak buah dewan sebuah daerah.
Apa yang terjadi sesungguhnya? Tidak sedikit hal, namun semuanya bermuara pada hilangnya kesadaran bahwa anak-anak itu selain butuh dibesarkan, namun wajib kami pertanggungjawabkan ke hadapan Allah Ta’ala. Hilangnya kesabaran menghadapi anak, kadang sebab kami lupa bahwa di antara keutamaan menikah merupakan menjadikannya sebagai sebab untuk mendapatkan keturunan (tasabbub). Kami membatasi berapa anak yang wajib kami lahirkan demi argumen kesejahteraan serta kemakmuran, sembari tanpa sadar kami melemahkan kesabaran serta kegembiraan kami menghadapi anak-anak.
Dulu, sebagian orangtua kami bekerja sambil memikirkan hidup anak-anak nanti seusai ia mati: tetap samakah imannya? Kini tidak sedikit orangtua mendekap anaknya, namun pikirannya diliputi kecemasan jangan-jangan satu kesempatan karier terlepas dampak kesibukan mengurusi anak.
Dulu orangtua meratakan keningnya untuk mendo’akan anak. Kini tidak sedikit orangtua meminta anak berdo’a untuk kesuksesan karier orangtuanya.*
Mohammad Fauzil Adhim merupakan penulis kolom Parenting Majalah Hidayatullah. Beberapa tulisan lain bisa dibaca di majalah Hidayatullah. twitter: @kupinang