Hikmah menikah adalah melahirkan anak-anak dan generasi yang shalih
dan berkualitas sehingga menjadi pelanjut risalah dakwah
Oleh : Ali Akbar bin Aqil
ANJURAN menikah telah banyak disinggung oleh Allah dan Rasul-Nya. Hikmah yang terserak di balik anjuran tersebut bertebaran mewarnai perjalanan hidup manusia. Dari Al Quran, kita peroleh keterangan manfaat menikah;
“Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (Qs. An-Nur [24]: 32).
Lewat lisan Nabi Muhammad kita dapati sabdanya: “Nikah itu sunnahku, siapa yang tidak suka sunnahku dia bukan dari golonganku.” (HR. Abu Ya`la)
Dari Imam Ahmad bin Hanbal, kita peroleh kisah yang membawa semangat untuk menikah. Dua hari lepas kemangkatan sang istri, beliau melangsungkan pernikahan yang berikutnya. Oleh orang-orang di sekitarnya beliau ditanya tentang hal tersebut. Dengan tenang beliau memberikan jawaban sederhana, “Aku tidak ingin dikatakan duda tanpa istri karena hal itu berarti telah meninggalkan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassallam.”
Secara sederhana, setidaknya ada 5 (lima) hikmah di balik perintah menikah dalam Islam.
Pertama, sebagai wadah birahi manusia yang halal
Allah ciptakan manusia dengan menyisipkan hawa nafsu dalam dirinya. Ada kalanya nafsu bereaksi positif dan ada kalanya negatif. Manusia yang tidak bisa mengendalikan nafsu birahi dan menempatakannya sesuai wadah yang telah ditentukan, akan sangat mudah terjebak pada ajang baku syahwat terlarang. Pintu pernikahan adalah sarana yang tepat nan jitu dalam mewadahi aspirasi nulari normal seorang anak keturunan Adam.
Hubungan biologis antara laki dan perempuan dalam ikatan suci pernikahan terhitung sebagai sedekah. Seperti diungkap oleh Rasul dalam haditsnya, “Dan persetubuhan salah seorang di antara kamu (dengan istrinya) adalah sedekah.” “Wahai Rasulullah, apakah (jika) salah seorang di antara kami memenuhi syahwatnya, ia mendapat pahala?” Rasulullah menjawab, “Tahukah engkau jika seseorang memenuhi syahwatnya pada yang haram, dia berdosa, demikian pula jika ia memenuhi syahwatnya itu pada yang halal, ia mendapat pahala.” (HR. Muslim)
Kedua, meneguhkan moralitas yang luhur
Dengan menikah dua anak manusia yang berlawanan jenis tengah berusaha dan selalu berupaya membentengi serta menjaga harkat dan martabatnya sebagai hamba Allah. Akhlak dalam Islam sangatlah penting. Lenyapnya akhlak dari diri seseorang merupakan lonceng kebinasaan, bukan saja bagi dirinya bahkan bagi suatu bangsa.
Kenyataan yang ada selama ini menunjukkkan gejala tidak baik, ditandai merosotnya moral sebagian kawula muda dalam pergaulan. Percintaan berujung pada hubungan intim di luar pernikahan, melahirkan bayi-bayi yang tidak berdosa tanpa diinginkan oleh mereka yang melahirkannya. Angka aborsi semakin tinggi. Akibatnya, kerusakan para pemuda dewasa ini semakin parah.
Jauh sebelumnya, Nabi telah memberikan suntikan motivasi kepada para pemuda untuk menikah, “Wahai para pemuda, barangsiapa sudah memiliki kemampuan untuk menafkahi, maka hendaknya ia menikah, karena menikah dapat meredam keliaran pandangan, pemelihara kemaluan. Barangsiapa yang belum mampu, hendaknya ia berpuasa, sebab puasa adalah sebaik-baik benteng diri.” (HR. Bukhari-Muslim)
Ketiga, membangun rumah tangga Islami
Slogan “sakinah, mawaddah, wa rahmah” tidak akan menjadi kenyataan jika tanpa dilalui proses menikah. Tidak ada kisah menawan dari insan-insan terdahulu mapun sekarang, hingga mereka sukses mendidik putra-putri dan keturunan bila tanpa menikah yang diteruskan dengan membangun biduk rumah tangga Islami.
Layaknya perahu, rumah tangga kadang terombang-ambing oleh ombak di lautan. Ada aral melintang. Ada kesulitan yang datang menghadang. Semuanya adalah tantangan dan riak-riak yang berbanding lurus dengan keteguhan sikap dan komitmen membangun rumah tangga ala Rasul dan sahabatnya. Sabar dan syukur adalah kunci meraih hikmah ketiga ini.
Diriwayatkan, Sayidina Umar pernah memperoleh cobaan dalam membangun rumah tangga. Suatu hari, seorang laki-laki berjalan tergesa-gesa menuju kediaman Khalifah Umar bin Khatab. Ia ingin mengadu pada khalifah, tak tahan dengan kecerewetan istrinya.
Begitu sampai di depan rumah khalifah, laki-laki itu tertegun. Dari dalam rumah terdengar istri Umar sedang ngomel, marah-marah. Cerewetnya melebihi istri yang akan diadukannya pada Umar. Tapi, tak sepatah kata pun terdengar keluhan dari mulut khalifah. Umar diam saja, mendengarkan istrinya yang sedang gundah.
Akhirnya lelaki itu mengurungkan niatnya, batal melaporkan istrinya pada Umar.
Apa yang membuat seorang Umar bin Khatab yang disegani kawan maupun lawan, berdiam diri saat istrinya ngomel? Beliau berkata, “Wahai saudaraku, istriku adalah yang memasak masakan untukku, mencuci pakaian-pakaianku, menunaikan hajat-hajatku, menyusui anak-anakku. Jika beberapa kali ia berbuat tidak baik kepada kita, janganlah kita hanya mengingat keburukannya dan melupakan kebaikannya.” Oleh karena itu, pasangan yang ingin membangun rumah tangga islami mesti menyertakan prinsip kesalehan dalam hari-harinya.
Keempat, memotivasi semangat dalam beribadah
Risalah Islam tegas memberikan keterangan pada umat manusia, bahwa tidaklah mereka diciptakan oleh Allah kecuali untuk bersembah sujud, beribadah kepada-Nya. Dengan menikah, diharapkan pasangan saling mengingatkan kesalahan dan kealpaan masing-masing. Dengan menikah satu sama lain memberi nasihat untuk menunaikan hak Allah dan Rasul-Nya, shalat, mengajarkan Al Quran, dan sebagainya.
Kelima, melahirkan keturunan/generasi yang baik
Hikmah menikah adalah melahirkan anak-anak yang shalih, berkualitas dalam iman dan takwa, cerdas secara spiritual, emosianal, maupun intelektual. Sehingga dengan menikah, orangtua bertanggung jawab dalam mendidik anak-anaknya sebagai generasi yang bertakwa dan beriman kepada Allah. Tanpa pendidikan yang baik tentulah tak akan mampu melahirkan generasi yang baik.
Lima hikmah menikah di atas merupakan satu sisi dari sekian banyak aspek di balik titah menikah yang digaungkan Islam. Saatnya, muda-mudi berpikir keras, mencari jodoh yang baik, bermusyawarah dengan Allah dan keluarga, cari dan temukan pasangan yang beriman, berperangai mulia, lalu menikahlah dan nikmati hikmah-hikmahnya. Wallahu A`lam.*
Penulis pengajar di Pesantren Darut Tauhid, Malang
[Sumber Tulisan: Hidayatullah.COM]
dan berkualitas sehingga menjadi pelanjut risalah dakwah
Baca Juga : Dimana Allah Berada?
Oleh : Ali Akbar bin Aqil
ANJURAN menikah telah banyak disinggung oleh Allah dan Rasul-Nya. Hikmah yang terserak di balik anjuran tersebut bertebaran mewarnai perjalanan hidup manusia. Dari Al Quran, kita peroleh keterangan manfaat menikah;
وَأَنكِحُوا الْأَيَامَى مِنكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِن يَكُونُوا فُقَرَاء يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِن فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
“Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (Qs. An-Nur [24]: 32).
Lewat lisan Nabi Muhammad kita dapati sabdanya: “Nikah itu sunnahku, siapa yang tidak suka sunnahku dia bukan dari golonganku.” (HR. Abu Ya`la)
Dari Imam Ahmad bin Hanbal, kita peroleh kisah yang membawa semangat untuk menikah. Dua hari lepas kemangkatan sang istri, beliau melangsungkan pernikahan yang berikutnya. Oleh orang-orang di sekitarnya beliau ditanya tentang hal tersebut. Dengan tenang beliau memberikan jawaban sederhana, “Aku tidak ingin dikatakan duda tanpa istri karena hal itu berarti telah meninggalkan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassallam.”
Secara sederhana, setidaknya ada 5 (lima) hikmah di balik perintah menikah dalam Islam.
Pertama, sebagai wadah birahi manusia yang halal
Allah ciptakan manusia dengan menyisipkan hawa nafsu dalam dirinya. Ada kalanya nafsu bereaksi positif dan ada kalanya negatif. Manusia yang tidak bisa mengendalikan nafsu birahi dan menempatakannya sesuai wadah yang telah ditentukan, akan sangat mudah terjebak pada ajang baku syahwat terlarang. Pintu pernikahan adalah sarana yang tepat nan jitu dalam mewadahi aspirasi nulari normal seorang anak keturunan Adam.
Hubungan biologis antara laki dan perempuan dalam ikatan suci pernikahan terhitung sebagai sedekah. Seperti diungkap oleh Rasul dalam haditsnya, “Dan persetubuhan salah seorang di antara kamu (dengan istrinya) adalah sedekah.” “Wahai Rasulullah, apakah (jika) salah seorang di antara kami memenuhi syahwatnya, ia mendapat pahala?” Rasulullah menjawab, “Tahukah engkau jika seseorang memenuhi syahwatnya pada yang haram, dia berdosa, demikian pula jika ia memenuhi syahwatnya itu pada yang halal, ia mendapat pahala.” (HR. Muslim)
Kedua, meneguhkan moralitas yang luhur
Dengan menikah dua anak manusia yang berlawanan jenis tengah berusaha dan selalu berupaya membentengi serta menjaga harkat dan martabatnya sebagai hamba Allah. Akhlak dalam Islam sangatlah penting. Lenyapnya akhlak dari diri seseorang merupakan lonceng kebinasaan, bukan saja bagi dirinya bahkan bagi suatu bangsa.
Kenyataan yang ada selama ini menunjukkkan gejala tidak baik, ditandai merosotnya moral sebagian kawula muda dalam pergaulan. Percintaan berujung pada hubungan intim di luar pernikahan, melahirkan bayi-bayi yang tidak berdosa tanpa diinginkan oleh mereka yang melahirkannya. Angka aborsi semakin tinggi. Akibatnya, kerusakan para pemuda dewasa ini semakin parah.
Jauh sebelumnya, Nabi telah memberikan suntikan motivasi kepada para pemuda untuk menikah, “Wahai para pemuda, barangsiapa sudah memiliki kemampuan untuk menafkahi, maka hendaknya ia menikah, karena menikah dapat meredam keliaran pandangan, pemelihara kemaluan. Barangsiapa yang belum mampu, hendaknya ia berpuasa, sebab puasa adalah sebaik-baik benteng diri.” (HR. Bukhari-Muslim)
Ketiga, membangun rumah tangga Islami
Slogan “sakinah, mawaddah, wa rahmah” tidak akan menjadi kenyataan jika tanpa dilalui proses menikah. Tidak ada kisah menawan dari insan-insan terdahulu mapun sekarang, hingga mereka sukses mendidik putra-putri dan keturunan bila tanpa menikah yang diteruskan dengan membangun biduk rumah tangga Islami.
Layaknya perahu, rumah tangga kadang terombang-ambing oleh ombak di lautan. Ada aral melintang. Ada kesulitan yang datang menghadang. Semuanya adalah tantangan dan riak-riak yang berbanding lurus dengan keteguhan sikap dan komitmen membangun rumah tangga ala Rasul dan sahabatnya. Sabar dan syukur adalah kunci meraih hikmah ketiga ini.
Diriwayatkan, Sayidina Umar pernah memperoleh cobaan dalam membangun rumah tangga. Suatu hari, seorang laki-laki berjalan tergesa-gesa menuju kediaman Khalifah Umar bin Khatab. Ia ingin mengadu pada khalifah, tak tahan dengan kecerewetan istrinya.
Begitu sampai di depan rumah khalifah, laki-laki itu tertegun. Dari dalam rumah terdengar istri Umar sedang ngomel, marah-marah. Cerewetnya melebihi istri yang akan diadukannya pada Umar. Tapi, tak sepatah kata pun terdengar keluhan dari mulut khalifah. Umar diam saja, mendengarkan istrinya yang sedang gundah.
Akhirnya lelaki itu mengurungkan niatnya, batal melaporkan istrinya pada Umar.
Apa yang membuat seorang Umar bin Khatab yang disegani kawan maupun lawan, berdiam diri saat istrinya ngomel? Beliau berkata, “Wahai saudaraku, istriku adalah yang memasak masakan untukku, mencuci pakaian-pakaianku, menunaikan hajat-hajatku, menyusui anak-anakku. Jika beberapa kali ia berbuat tidak baik kepada kita, janganlah kita hanya mengingat keburukannya dan melupakan kebaikannya.” Oleh karena itu, pasangan yang ingin membangun rumah tangga islami mesti menyertakan prinsip kesalehan dalam hari-harinya.
Keempat, memotivasi semangat dalam beribadah
Risalah Islam tegas memberikan keterangan pada umat manusia, bahwa tidaklah mereka diciptakan oleh Allah kecuali untuk bersembah sujud, beribadah kepada-Nya. Dengan menikah, diharapkan pasangan saling mengingatkan kesalahan dan kealpaan masing-masing. Dengan menikah satu sama lain memberi nasihat untuk menunaikan hak Allah dan Rasul-Nya, shalat, mengajarkan Al Quran, dan sebagainya.
Kelima, melahirkan keturunan/generasi yang baik
Hikmah menikah adalah melahirkan anak-anak yang shalih, berkualitas dalam iman dan takwa, cerdas secara spiritual, emosianal, maupun intelektual. Sehingga dengan menikah, orangtua bertanggung jawab dalam mendidik anak-anaknya sebagai generasi yang bertakwa dan beriman kepada Allah. Tanpa pendidikan yang baik tentulah tak akan mampu melahirkan generasi yang baik.
Baca Juga : Empat Amalan Yang Dapat Menyelamatkan Dari Api Neraka
Lima hikmah menikah di atas merupakan satu sisi dari sekian banyak aspek di balik titah menikah yang digaungkan Islam. Saatnya, muda-mudi berpikir keras, mencari jodoh yang baik, bermusyawarah dengan Allah dan keluarga, cari dan temukan pasangan yang beriman, berperangai mulia, lalu menikahlah dan nikmati hikmah-hikmahnya. Wallahu A`lam.*
Penulis pengajar di Pesantren Darut Tauhid, Malang
[Sumber Tulisan: Hidayatullah.COM]