Al-Qur’an adalah kalamullah, yang merupakan mukjizat terbesar
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidak ada kitab suci yang sebanding dengan Al-Qur’an. Sehingga sudah selayaknya diagungkan dan dimuliakan.
Oleh sebab itulah, menyentuh pun dianjurkan untuk bersuci (wudlu) dan dilarang dibawa sembarangan (ke kamar kecil). Demikian pula untuk membaca kitab suci Al-Qur’an, memiliki aturan tertentu dalam Islam yang disebut ilmu tajwid. Belum lagi macam-macam qira’at dan ulumul qur’an serta tafsir yang lebih luas lagi guna memahami Al-Qur’an dengan benar.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga memerintahkan agar memperindah bacaan Al-Qur’an.
Hiasilah al-Quran dengan suara kalian. (HR. Ahmad 18994, Nasai 1024, dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth)
Kemudian, hadis dari Sa’d bin Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhu, sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Siapa yang tidak memperindah suaranya ketika membaca al-Quran, maka ia bukan dari golongan kami.” (HR. Abu Daud 1469, Ahmad 1512 dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth).
Ada beberapa keteragan yang disampaikan para ulama tentang makna ‘yataghanna bil qur’an’. Diantaranya adalah memperindah bacaan al-Quran. Karena itu, dia hadis di atas dijadikan dalil anjuran memperbagus suara ketika membaca al-Quran.
Imam an-Nawawi mengatakan,
Para ulama salaf maupun generasi setelahnya, di kalangan para sahabat maupun tabiin, dan para ulama dari berbagai negeri mereka sepakat dianjurkannya memperindah bacaan al-Quran. (at-Tibyan, hlm. 109).
Selanjutnya an-Nawawi menyebutkan makna hadis kedua,
Mayoritas ulama mengatakan, makna ‘Siapa yang tidak yataghanna bil quran’ adalah siapa yang tidak memperindah suaranya dalam membaca al-Quran. Para ulama juga mengatakan, dianjurkan memperindah bacaan al-Quran dan membacanya dengan urut, selama tidak sampai keluar dari batasan cara baca yang benar. Jika berlebihan sampai nambahi huruf atau menyembunyikan sebagian huruf, hukumnya haram. (at-Tibyan, hlm. 110).
Membaca Al-Qur’an dengan Langgam Jawa
Perlu diluruskan, membaguskan bacaan Al-Quran adalah tahsin Al-Qiraah, memperindah bacaan al-Quran di sini tentu bukan membaca dengan meniru lagu-lagu.
Cara baca Al-Quran seperti yang dilakukan dengan mengikuti gaya macapat, terutama tembang mijil merupakan salah satu jenis irama lagu bagi masyarakat Jawa (langgam Jawa). Apalagi bila dinyatakan bahwa Tujuan pembacaan Al-Quran dengan langgam Jawa adalah menjaga dan memelihara tradisi Nusantara, ini jelas batil dan bisa merusak Al-Qur’an itu sendiri.
Bagaimana jadinya bila nanti orang-orang dari daerah lain -dengan alasana menjaga tradisi Nusantara- membaca Al-Qur’an disesuaikan dengan langgam masing-masing; Langgam “Jaipong” Sunda, “Butet” Batak, Langgam “Sajojo” Papua, Langgam “Ayam Den Lapeh” Minang dan lain-lain.
Pada dasarnya, langgam tersebut tidak jauh berbeda dengan irama dangdut, pop, jazz, rock, rap dan seterusnya. Hanya saja, mengingat irama ini lebih terikat dengan kedaerahan, penyebarannya tidak lebih luas dibanding irama yang lain. Ditambah lagi, demi mengikuti suatu langgam atau irama tapi malah merusak tajwid, maka cara baca semacam ini menurut para ulama dilarang.
Dr. Ibrahim ad-Dausiri membawakan keterangan al-Hafidz Ibnu Katsir,
Yang diajarkan oleh syariat adalah memperindah bacaan al-Quran karena dorongan ingin mentadabburi al-Quran, memahaminya, berusaha khusyu, tunduk, karena ingin mentaati Allah. Adapun bacaan al-Quran dengan lagu yang tidak pernah dikenal, mengikuti irama, tempo, cengkok lagu, dan nada musik, maka seharusnya al-Quran diagungkan, dan dimuliakan dari cara baca semacam ini. (Fadhail al-Quran, hlm. 114).
Keterangan lain disampaikan Imam Ibnul Qayyim,
Semua orang yang mengetahui keadaan ulama salaf, dia akan sangat yakin bahwa mereka berlepas diri dari cara baca al-Quran dengan mengikuti irama musik yang dipaksa-paksakan. Menyesuaikan dengan cengkok, genre, dan tempo nada lagu. Mereka sangat takut kepada Allah untuk membaca al-Quran dengan gaya semacam ini atau membolehkannya. (Zadul Ma’ad, 1/470).
Di sisi lain kita seharusnya takut akan ancaman Allah Ta’ala, jangan sampai kita tergolong sebagai kaum mengolok-olok Al-Qur’an, meskipun dengan dalih seni atau tradisi.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentu mereka akan menjawab: “Sesungguhnya kami hanya bersenda gurau dan bermain-main saja”. Katakanlah: “Apakah dengan Allah, ayat-ayatNya dan RasulNya kamu selalu berolok-olok?” Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman… (At Taubah : 65-66).
Semoga artikel ini bermanfaat. Wallahu a’lam bishshawab. [AW] ( http://panjimas.com/ )
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidak ada kitab suci yang sebanding dengan Al-Qur’an. Sehingga sudah selayaknya diagungkan dan dimuliakan.
Baca Juga : Sebuah Kisah Pemuda yang Meragukan Allah Setelah di PHK
Oleh sebab itulah, menyentuh pun dianjurkan untuk bersuci (wudlu) dan dilarang dibawa sembarangan (ke kamar kecil). Demikian pula untuk membaca kitab suci Al-Qur’an, memiliki aturan tertentu dalam Islam yang disebut ilmu tajwid. Belum lagi macam-macam qira’at dan ulumul qur’an serta tafsir yang lebih luas lagi guna memahami Al-Qur’an dengan benar.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga memerintahkan agar memperindah bacaan Al-Qur’an.
Dalam Hadis dari al-Barra bin Azib Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan,
زَيِّنُوا الْقُرْآنَ بِأَصْوَاتِكُمْ
Hiasilah al-Quran dengan suara kalian. (HR. Ahmad 18994, Nasai 1024, dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth)
Kemudian, hadis dari Sa’d bin Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhu, sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يَتَغَنَّ بِالْقُرْآنِ
“Siapa yang tidak memperindah suaranya ketika membaca al-Quran, maka ia bukan dari golongan kami.” (HR. Abu Daud 1469, Ahmad 1512 dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth).
Ada beberapa keteragan yang disampaikan para ulama tentang makna ‘yataghanna bil qur’an’. Diantaranya adalah memperindah bacaan al-Quran. Karena itu, dia hadis di atas dijadikan dalil anjuran memperbagus suara ketika membaca al-Quran.
Imam an-Nawawi mengatakan,
أجمع العلماء رضي الله عنهم من السلف والخلف من الصحابة والتابعين ومن بعدهم من علماء الأمصار أئمة المسلمين على استحباب تحسين الصوت بالقرآن
Para ulama salaf maupun generasi setelahnya, di kalangan para sahabat maupun tabiin, dan para ulama dari berbagai negeri mereka sepakat dianjurkannya memperindah bacaan al-Quran. (at-Tibyan, hlm. 109).
Selanjutnya an-Nawawi menyebutkan makna hadis kedua,
قال جمهور العلماء معنى لم يتغن لم يحسن صوته،… قال العلماء رحمهم الله فيستحب تحسين الصوت بالقراءة ترتيبها ما لم يخرج عن حد القراءة بالتمطيط فإن أفرط حتى زاد حرفا أو أخفاه فهو حرام
Mayoritas ulama mengatakan, makna ‘Siapa yang tidak yataghanna bil quran’ adalah siapa yang tidak memperindah suaranya dalam membaca al-Quran. Para ulama juga mengatakan, dianjurkan memperindah bacaan al-Quran dan membacanya dengan urut, selama tidak sampai keluar dari batasan cara baca yang benar. Jika berlebihan sampai nambahi huruf atau menyembunyikan sebagian huruf, hukumnya haram. (at-Tibyan, hlm. 110).
Membaca Al-Qur’an dengan Langgam Jawa
Perlu diluruskan, membaguskan bacaan Al-Quran adalah tahsin Al-Qiraah, memperindah bacaan al-Quran di sini tentu bukan membaca dengan meniru lagu-lagu.
Cara baca Al-Quran seperti yang dilakukan dengan mengikuti gaya macapat, terutama tembang mijil merupakan salah satu jenis irama lagu bagi masyarakat Jawa (langgam Jawa). Apalagi bila dinyatakan bahwa Tujuan pembacaan Al-Quran dengan langgam Jawa adalah menjaga dan memelihara tradisi Nusantara, ini jelas batil dan bisa merusak Al-Qur’an itu sendiri.
Bagaimana jadinya bila nanti orang-orang dari daerah lain -dengan alasana menjaga tradisi Nusantara- membaca Al-Qur’an disesuaikan dengan langgam masing-masing; Langgam “Jaipong” Sunda, “Butet” Batak, Langgam “Sajojo” Papua, Langgam “Ayam Den Lapeh” Minang dan lain-lain.
Pada dasarnya, langgam tersebut tidak jauh berbeda dengan irama dangdut, pop, jazz, rock, rap dan seterusnya. Hanya saja, mengingat irama ini lebih terikat dengan kedaerahan, penyebarannya tidak lebih luas dibanding irama yang lain. Ditambah lagi, demi mengikuti suatu langgam atau irama tapi malah merusak tajwid, maka cara baca semacam ini menurut para ulama dilarang.
Dr. Ibrahim ad-Dausiri membawakan keterangan al-Hafidz Ibnu Katsir,
والغرض أن المطلوب شرعا إنما هو التحسين بالصوت الباعث على تدبر القرآن وتفهمه والخشوع والخضوع والانقياد للطاعة ، فأما الأصوات بالنغمات المحدثة المركبة على الأوزان والأوضاع الملهية والقانون الموسيقائي فالقرآن ينزه عن هذا ويُجلّ ، ويعظم أن يسلك في أدائه هذا المذهب
Yang diajarkan oleh syariat adalah memperindah bacaan al-Quran karena dorongan ingin mentadabburi al-Quran, memahaminya, berusaha khusyu, tunduk, karena ingin mentaati Allah. Adapun bacaan al-Quran dengan lagu yang tidak pernah dikenal, mengikuti irama, tempo, cengkok lagu, dan nada musik, maka seharusnya al-Quran diagungkan, dan dimuliakan dari cara baca semacam ini. (Fadhail al-Quran, hlm. 114).
Keterangan lain disampaikan Imam Ibnul Qayyim,
وكل من له علم بأحوال السلف يعلم قطعاً أنهم براء من القراءة بألحان الموسيقى المتكلفة التي هي إيقاعات وحركات موزونة معدودة محدودة ، وأنهم أتقى لله من أن يقرؤوا بها ويسوِّغوها
Semua orang yang mengetahui keadaan ulama salaf, dia akan sangat yakin bahwa mereka berlepas diri dari cara baca al-Quran dengan mengikuti irama musik yang dipaksa-paksakan. Menyesuaikan dengan cengkok, genre, dan tempo nada lagu. Mereka sangat takut kepada Allah untuk membaca al-Quran dengan gaya semacam ini atau membolehkannya. (Zadul Ma’ad, 1/470).
Di sisi lain kita seharusnya takut akan ancaman Allah Ta’ala, jangan sampai kita tergolong sebagai kaum mengolok-olok Al-Qur’an, meskipun dengan dalih seni atau tradisi.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
وَلَئِن سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ ۚ قُلْ أَبِاللَّهِ وَآيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ لَا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُم بَعْدَ إِيمَانِكُمْ
Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentu mereka akan menjawab: “Sesungguhnya kami hanya bersenda gurau dan bermain-main saja”. Katakanlah: “Apakah dengan Allah, ayat-ayatNya dan RasulNya kamu selalu berolok-olok?” Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman… (At Taubah : 65-66).
Baca Juga : Sedih, Bahagia, Gelisah Tak Usah Melampaui Batas
Semoga artikel ini bermanfaat. Wallahu a’lam bishshawab. [AW] ( http://panjimas.com/ )