Islam telah mengatur segala sesuatu di dunia ini dengan takaran yang pas. Tergolong juga soal hubungan suami istri. Dalam Islam, hubungan yang sangat pribadi bisa menjadi lakukanan harus, sunnah, mubah, maupun haram. Ketika bagaimana?
Baca Juga : Dilarang, Mendiamkan Saudaranya Lebih Dari 3 Hari
Menjadi harus apabila seorang suami alias istri sedang mengalami kondisi mengharapkan yang memuncak. Dikhawatirkan padanya kalau tak melakukan hubungan seksual dengan pasangan halalnya bakal jatuh pada lakukanan maksiat / zina. Maka ketika suami mengundang istrinya berhubungan, istri diharuskan memenuhinya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِذَا دَعَا الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَلَمْ تَأْتِهِ فَبَاتَ غَضْبَانَ عَلَيْهَا لَعَنَتْهَا الْمَلاَئِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ
“Apabila seorang laki-laki mengundang istrinya ke ranjangnya, lalu istri tak mendatanginya, sampai dirinya (suaminya –ed) bermalam dalam kondisi marah kepadanya, maka malaikat melaknatnya sampai pagi tiba.” (HR. Bukhari serta Muslim)
Seharusnya yang dialkukan istri merupakan memenuhi ajakan suaminya ketika dirinya diajak berhubungan suami istri.
إِذَا دَعَا الرَّجُلُ زَوْجَتَهُ لِحَاجَتِهِ فَلْتَأْتِهِ ، وَإِنْ كَانَتْ عَلَى التَّنُّورِ
“Apabila seorang laki-laki mengundang istrinya untuk menyalurkan hajatnya, maka hendaklah ia mendatangi suaminya, meskipun dirinya sedang berada di tungku perapian.” (HR. Ibnu Syaibah, at-Tirmidzi, ath-Thabarani serta mengatakan at-Tirmidzi Hadits Hasan Gharib, serta dishahihkan Ibnu Hibban no 4165)
Mengatakan al-Imam Syaukani rahimahullah, mengenai hadits diatas: “Kalau dalam kondisi semacam itu saja tak boleh seorang istri menyelisihi suami, tak boleh tak memenuhi ajakan suami sedangkan dirinya dalam kondisi semacam itu, maka bagaimana dibolehkan untuk menyelisihi suami tidak hanya dari kondisi itu.” (Silahkan Lihat Nailul Authaar:269/231)
Menjadi Sunnah dengan cara umum ketika selalu melalukan diniatkan mencapai berbagai tujuan mutlak dari dari berhubunga antara lain:
1. Dipeliharanya nasab (keturunan), jadi mencapai jumlah yang ditetapkan menurut takdir Allah
2. Mengeluarkan air yang bisa mengganggu kesehatan badan apabila ditahan semakin
3. Mencapai maksud serta merasakan kenikmatan, sebagaimana nanti di surga
4. Menundukkan pandangan, menahan nafsu,
5. menguatkan jiwa serta supaya tak berbuat serong bagi kedua pasangan
Dihukumi makruh ketika melakukan hubungan seksual di dalam kamar mandi. Makruh juga hukumnya menceritakan detail proses hubungan intim yang dilakukan suami istri terhadap orang lain tanpa kepentingan yang besar di dalamnya.
Imam an-Nawawi rahimahullah mengatakan:”Dan dalam hadits ini (”Sesungguhnya yang tergolong manusia paling kurang baik kedudukannya di segi Allah pada hari kiamat merupakan seorang laki-laki yang menggauli istrinya lalau dirinya menceritakan rahasianya (jima’ tersebut)”(HR Muslim) )ada pengharaman bagi seorang laki-laki menyebarluaskan apa yang terjadi antara dirinya dengan istrinya berupa jima’, serta menceritakan dengan cara detail faktor itu serta apa yang terjadi dengan perempuan pada kejadian itu (jima’) berupa ucapan (desahan) maupun lakukanan serta yang lainnya. Adapun sekedar menyatakan kata jima’, apabila tak ada faidah serta kebutuhan di dalamnya maka faktor itu makruh sebab bermengenaian dengan muru’ah (kehormatan diri)
Menjadi haram alias berdosa ketika istri sedang haid, suami memaksa melakukan hubungan. Alias ketika istri sedang nifas tergolong melakukan hubungan seksual di dubur (anal seks).
Imam Nawawi rahimahullah mengatakan, “Kaum muslimin sepakat bakal haramnya menyetubuhi wanita haid berdasarkan ayat Al Qur’an serta hadits-hadits yang shahih” (Al Majmu’, 2: 359). Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Menyetubuhi wanita nifas merupakan sebagaimana wanita haid yaitu haram berdasarkan kesepakatan para ulama.” (Majmu’ Al Fatawa, 21: 624)
Dalam hadits disebutkan,
مَنْ أَتَى حَائِضًا أَوِ امْرَأَةً فِى دُبُرِهَا أَوْ كَاهِنًا فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ -صلى الله عليه وسلم-
“Barangsiapa yang menyetubuhi wanita haid alias menyetubuhi wanita di duburnya, maka ia telah kufur terhadap apa yang diturunkan terhadap Muhammad –shallallahu ‘alaihi wa sallam-.” (HR. Tirmidzi no. 135, Ibnu Majah no. 639. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).
Baca Juga : 5 Maksiat Ini Disegerakan Balasannya di Akhir Zaman
Al Muhamili dalam Al Majmu’ (2: 359) menyatakan bahwa Imam Asy Syafi’i rahimahullah mengatakan, “Barangsiapa yang menyetubuhi wanita haid, maka ia telah terjerumus dalam dosa besar.”