Tausiah Islam - Penghasilan suaminya terbilang besar. Sederet jumlah yang
bagi tidak sedikit orang, hanya bisa diangankan. Bakal tetapi, penghasilan sebesar itu semacam tidak berbekas. Hutang bertumpuk dimana-mana. Rumah terjual begitu saja. Mobil serta motor bagai hanya mampir di parkiran. Ada sebentar kemudian berangkat lagi sebab wajib pindah tangan. Ongkos anak serta suami setiap hari pun dari pinjaman.
Fenomena yang menyedihkan ini bermula dari perilaku konsumtif keluarga tersebut. Bila uang telah di tangan, “lapar mata” pun sehingga sakit kambuhan. Segala macam barang dibeli, walau sebetulnya tidak sangatlah dibutuhkan. Bahkan, uang pinjaman pun bisa terpakai hanya untuk membeli device keluaran terbaru. Dampak penyakit “beli ini-beli itu” lah, keluarga ini mulai terjerat hutang. Mulai dari hutang tidak berbunga yang dipinjamkan oleh kantor tempat sang suami bekerja, berhutang ketetangga serta saudara, hingga hutang pada rentenir. Hutang pada yang terbaru ini membikin kehidupan mereka terpuruk.
Manfaat atau Keinginan Sesaat?
Bukan bermaksud menyebar aib orang lain namun inilah kisah nyata yang sejatinya bisa menjadi pelajaran untuk kita. Bahwa, sebesar apapun keinginan kami untuk mempunyai sesuatu, ukurannya bukan hanya sanggup atau tidak keuangan kami untuk mendapatkannya.
Ukuran keuangan, besar-kecilnya penghasilan sebetulnya merupakan ukuran yang rentan untuk dijadikan argumen kami membeli sesuatu. Tidak sedikit barang yang dengan cara ukuran finansial mudah kami beli namun pada kenyataannya menguras pendapatan kita. Ada pula barang yang dengan cara hitungan matematis terbilang mahal namun lebih baik kami miliki.
Misalkan, untuk membeli tablet bukan faktor yang susah kini ini. Tidak sedikit tablet nilai kedua yang bisa dibeli dengan harga ratusan ribu rupiah saja. Namun, bila tablet ini kemudian diserahgunakan pada anak-anak kita, bisa dipastikan, anggaran yang wajib kami tanggung meningkat berlipat.
Yang pertama merupakan anggaran ekonomis. Tablet atau apapun bentuk barang elektronik yang diserahgunakan pada anak, umumnya bakal cepat rusak. Masa penggunaan yang singkat dengan cara hemat sama dengan berbiaya tinggi. Belum lagi anggaran kesehatan mata anak yang biasanya cepat terganggu, bila berlama-lama bermain dengan tablet, laptop, serta lainnya. Ditambah, anak yang cepat marah, malas belajar, serta cenderung egois. Ini semua merupakan anggaran tinggi yang wajib kami tanggung dari “murahnya” harga tablet saat ini.
Akan tetapi, laptop yang kami beli dengan harga jutaan rupiah untuk menuliskan hal-hal yang bermanfaat, untuk mengerjakan hal-hal produktif, untuk meningkatkan penghasilan keluarga, untuk mencari video edukatif yang meningkatkan cakrawala keilmuan anak; tentu bakal terasa terjangkau dibandingkan manfaatnya. Apalagi bila dari adanya laptop tersebut, terus tidak sedikit kegunaaan serta penghasilan yang kami dapatkan, jadi terus ringan terasa beban yang kami tanggung.
Oleh sebab itu, pertimbangkanlah ketika kami bakal membeli sesuatu. Bukan dari ukuran keuangan yang kami miliki semata. Uang yang ada di tangan, bisa berasal darimana saja, tergolong dari kredit atau berhutang. Bukan pula dari kebutuhan. Sebab bisa jadi, kebutuhan itu muncul dari tidak lebih teliti serta disiplinnya kami mengelola aset yang kami miliki. Tergolong mengelola waktu.
Pertimbangkanlah dari sisi berlebihan atau tidaknya kami mempunyai aset atau barang tersebut. Karena, bila dari sisi manfaat, kami bisa berdalih bahwa apa yang bakal kami beli mengangkat kegunaaan untuk kita. Misalnya, kami ingin membeli device dengan performa kamera yang lebih canggih. Dari sisi manfaat, mungkin kami bisa memperoleh foto dengan nilai yang lebih baik. Bakal tetapi, untuk apa kamera digital yang sebelumnya telah kami miliki? Berapa kali dalam sebulan kami wajib mengambil foto yang terbukti sangatlah wajib diabadikan?
Pertimbangkanlah, apalagi bila hingga wajib berhutang. Mungkin teladan dari Umar bin Khaththab ra bakal menjadi pengingat yang dalam. Sebuah hari, anak Umar bin Khaththab, pulang menuntut ilmu sambil menghitung tambalan-tambalan yang melekat di bajunya yang telah usang serta jelek. Dengan kasihan, Umar, sang Amirul mu’minin sebagai ayahnya mengirim surat terhadap bendaharawan negara, yang isinya minta supaya beliau diberi pinjaman uang sebanyak 4 dirham, dengan jaminan gajinya bulan depan supaya dipotong.
Kemudian Bendaharawan itu membalas surat Umar, yang isinya demikian, “Wahai Umar, adakah engkau bisa memastikan bahwa engkau bakal nasib hingga bulan depan? Bagaimana kalau engkau mati sebelum melunasi hutangmu?”
Membaca balasan itu jadi seketika itu juga Umar tersungkur menangis, lalu Beliau menasehati anaknya serta berkata, “Wahai anakku, berangkatlah menuntut ilmu dengan baju usangmu itu sebagaimana biasanya sebab aku tidak bisa memperhatikan umurku mesikipun untuk satu jam. Sungguh, batasan umur manusia tidak ada yang mengetahuinya, kecuali hanya Allah Subhanahu Wata’ala semata.” (muslimahzone)
bagi tidak sedikit orang, hanya bisa diangankan. Bakal tetapi, penghasilan sebesar itu semacam tidak berbekas. Hutang bertumpuk dimana-mana. Rumah terjual begitu saja. Mobil serta motor bagai hanya mampir di parkiran. Ada sebentar kemudian berangkat lagi sebab wajib pindah tangan. Ongkos anak serta suami setiap hari pun dari pinjaman.
Baca Juga : Aku Rugi Mengajari Mami Facebook-an
Untuk Berhutang
Kini, kondisi kesehatannya sangat menyedihkan. Berulang kali sesak nafas akut namun tidak bisa dibawa ke rumah sakit. Tetangga serta saudara tidak ada yang mau meminjamkan uang. Anggaran kesehatan yang telah ditanggung oleh kartu jaminan kesehatan pun tidak bisa memberikan berita baik sebab pada prakteknya, orang yang bakal berobat di rumah sakit masih wajib mempunyai uang untuk beberapa keperluan.Baca Juga : 7 Sifat Setan Yang Patut Ditiru Manusia
Fenomena yang menyedihkan ini bermula dari perilaku konsumtif keluarga tersebut. Bila uang telah di tangan, “lapar mata” pun sehingga sakit kambuhan. Segala macam barang dibeli, walau sebetulnya tidak sangatlah dibutuhkan. Bahkan, uang pinjaman pun bisa terpakai hanya untuk membeli device keluaran terbaru. Dampak penyakit “beli ini-beli itu” lah, keluarga ini mulai terjerat hutang. Mulai dari hutang tidak berbunga yang dipinjamkan oleh kantor tempat sang suami bekerja, berhutang ketetangga serta saudara, hingga hutang pada rentenir. Hutang pada yang terbaru ini membikin kehidupan mereka terpuruk.
Manfaat atau Keinginan Sesaat?
Bukan bermaksud menyebar aib orang lain namun inilah kisah nyata yang sejatinya bisa menjadi pelajaran untuk kita. Bahwa, sebesar apapun keinginan kami untuk mempunyai sesuatu, ukurannya bukan hanya sanggup atau tidak keuangan kami untuk mendapatkannya.
Ukuran keuangan, besar-kecilnya penghasilan sebetulnya merupakan ukuran yang rentan untuk dijadikan argumen kami membeli sesuatu. Tidak sedikit barang yang dengan cara ukuran finansial mudah kami beli namun pada kenyataannya menguras pendapatan kita. Ada pula barang yang dengan cara hitungan matematis terbilang mahal namun lebih baik kami miliki.
Misalkan, untuk membeli tablet bukan faktor yang susah kini ini. Tidak sedikit tablet nilai kedua yang bisa dibeli dengan harga ratusan ribu rupiah saja. Namun, bila tablet ini kemudian diserahgunakan pada anak-anak kita, bisa dipastikan, anggaran yang wajib kami tanggung meningkat berlipat.
Yang pertama merupakan anggaran ekonomis. Tablet atau apapun bentuk barang elektronik yang diserahgunakan pada anak, umumnya bakal cepat rusak. Masa penggunaan yang singkat dengan cara hemat sama dengan berbiaya tinggi. Belum lagi anggaran kesehatan mata anak yang biasanya cepat terganggu, bila berlama-lama bermain dengan tablet, laptop, serta lainnya. Ditambah, anak yang cepat marah, malas belajar, serta cenderung egois. Ini semua merupakan anggaran tinggi yang wajib kami tanggung dari “murahnya” harga tablet saat ini.
Akan tetapi, laptop yang kami beli dengan harga jutaan rupiah untuk menuliskan hal-hal yang bermanfaat, untuk mengerjakan hal-hal produktif, untuk meningkatkan penghasilan keluarga, untuk mencari video edukatif yang meningkatkan cakrawala keilmuan anak; tentu bakal terasa terjangkau dibandingkan manfaatnya. Apalagi bila dari adanya laptop tersebut, terus tidak sedikit kegunaaan serta penghasilan yang kami dapatkan, jadi terus ringan terasa beban yang kami tanggung.
Oleh sebab itu, pertimbangkanlah ketika kami bakal membeli sesuatu. Bukan dari ukuran keuangan yang kami miliki semata. Uang yang ada di tangan, bisa berasal darimana saja, tergolong dari kredit atau berhutang. Bukan pula dari kebutuhan. Sebab bisa jadi, kebutuhan itu muncul dari tidak lebih teliti serta disiplinnya kami mengelola aset yang kami miliki. Tergolong mengelola waktu.
Pertimbangkanlah dari sisi berlebihan atau tidaknya kami mempunyai aset atau barang tersebut. Karena, bila dari sisi manfaat, kami bisa berdalih bahwa apa yang bakal kami beli mengangkat kegunaaan untuk kita. Misalnya, kami ingin membeli device dengan performa kamera yang lebih canggih. Dari sisi manfaat, mungkin kami bisa memperoleh foto dengan nilai yang lebih baik. Bakal tetapi, untuk apa kamera digital yang sebelumnya telah kami miliki? Berapa kali dalam sebulan kami wajib mengambil foto yang terbukti sangatlah wajib diabadikan?
Pertimbangkanlah, apalagi bila hingga wajib berhutang. Mungkin teladan dari Umar bin Khaththab ra bakal menjadi pengingat yang dalam. Sebuah hari, anak Umar bin Khaththab, pulang menuntut ilmu sambil menghitung tambalan-tambalan yang melekat di bajunya yang telah usang serta jelek. Dengan kasihan, Umar, sang Amirul mu’minin sebagai ayahnya mengirim surat terhadap bendaharawan negara, yang isinya minta supaya beliau diberi pinjaman uang sebanyak 4 dirham, dengan jaminan gajinya bulan depan supaya dipotong.
Kemudian Bendaharawan itu membalas surat Umar, yang isinya demikian, “Wahai Umar, adakah engkau bisa memastikan bahwa engkau bakal nasib hingga bulan depan? Bagaimana kalau engkau mati sebelum melunasi hutangmu?”
Membaca balasan itu jadi seketika itu juga Umar tersungkur menangis, lalu Beliau menasehati anaknya serta berkata, “Wahai anakku, berangkatlah menuntut ilmu dengan baju usangmu itu sebagaimana biasanya sebab aku tidak bisa memperhatikan umurku mesikipun untuk satu jam. Sungguh, batasan umur manusia tidak ada yang mengetahuinya, kecuali hanya Allah Subhanahu Wata’ala semata.” (muslimahzone)